Danpada 15 Sya'ban 1290H, Syaikh Rahmatullah batu meletakkan batu asas untuk membina madrasah yang lebih besar. Biografi Muhamad al-Mutawalli al-Sya'rawi. Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi dilahirkan pada 15 April 1911 di Daqadus, daerah Mit Ghamir, Negeri Daqaliyyah, Mesir. Beliau tamat
The study of the Koran's stories focused on the excavation of its historical aspect. This was done to prove the existence of such narratives in the Koran as historical facts that happened. On the other hand, it is often the precautionary care of the story, even to be neglected. Mutawalli al-Sya'rawi came by offering insight into the story in the Koran, not only by digging out its heart, but also creating a similar story in every place and time. The study USES a descriptive approach. The things accredited by al-Sya'rawi is written in the code that doesn't give the character's real name, and that story will be repeated everywhere and every time. Like pharaoh that zalim, dictator, and raised himself. So did the dzulqarnain, who is good and empowering the weak. The personages of these two characters will continue to exist in life, wherever and wherever. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free MAGHZA Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto Edisi Januari-Juni, Vol. 5, No. 2, 2020 DOI 285 Kaidah Memahami Kisah Dalam Al-Quran Perspektif Mutawali al-Sya’rawi Fakhrijal Ali Azhar UIN Walisongo Semarag Jl. Walisongo, Kota Semarang Jawa Tengah, 50815 e-mail fakhrijalaliazhar Nafisatun Nuri UIN Walisongo Semarag Jl. Walisongo, Kota Semarang Jawa Tengah, 50815 e-mail nafisatun_nuri_1904028020 Ahmad Musyafiq UIN Walisongo Semarag Jl. Walisongo, Kota Semarang Jawa Tengah, 50815 e-mail ahmad_musyafiq Abstract The study of the Koran's stories focused on the excavation of its historical aspect. This was done to prove the existence of such narratives in the Koran as historical facts that happened. On the other hand, it is often the precautionary care of the story, even to be neglected. Mutawalli al-Sya'rawi came by offering insight into the story in the Koran, not only by digging out its heart, but also creating a similar story in every place and time. The study USES a descriptive approach. The things accredited by al-Sya'rawi is written in the code that doesn't give the character's real name, and that story will be repeated everywhere and every time. Like pharaoh that zalim, dictator, and raised himself. So did the dzulqarnain, who is good and empowering the weak. The personages of these two characters will continue to exist in life, wherever and wherever. Keywords Mutawalli as-Sya’rawi, The History of the Qur’an, kaidah tafsir. Abstrak Pengkajian terhadap kisah-kisah dalam al-Quran selama ini terfokus pada penggalian aspek bukti kesejarahannya. Hal ini dilakukan untuk membuktikan keberadaan kisah-kisah dalam al-Quran sebagai fakta sejarah yang benar-benar terjadi. Disisi lain, sering kali perhatian terhadap ibrah atau pelajaran yang terkandung dalam kisah justru kurang, bahkan sampai terlalaikan. Mutawalli as-Sya’rawi datang dengan menawarkan pemahaman terhadap kisah dalam al-Quran, tidak hanya dengan menggali ibrahnya saja, melainkan juga menghadirkan kisah serupa pada setiap tempat dan waktu. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Apa yang 286 ditawarka oleh as-Sya’rawi tertuang dalam kaidah bahwa suatu kisah yang tidak menyebutkan nama asli tokohnya, maka kisah tersebut akan terulang dimanapun dan kapanpun. Seperti firaun yang dzalim, dikdator, dan menuhankan dirinya. Begitu pula Dzul Qarnain, yang baik dan memberdayakan orang lemah. Sosok-sosok seperti dua tokoh ini akan terus ada di dalam kehidupan, dimanapun dan kapanpun. Kata kunci Mutawalli as-Sya’rawi; The History of the Qur’an, kaidah tafsir. A. PENDAHULUAN l-Quran merupakan kitab petunjuk dan sekaligus sebagai rahmat bagi manusia. Didalamnya mencakup banyak hal, mulai dari ibadah, akhlak, muamalah, hari akhir, ilmu pengetahuan, sejarah, kisah-kisah umat terdahulu dan lain sebagainya. Adanya konten sejarah dan juga kisah-kisah di dalam al-Quran tidak lantas ia disebut sebagai kitab sejarah atau kitab kisah, namun ia masih tetap sebagai asalnya yaitu kitab petunjuk. Kisah hanyalah salah satu dari metode al-Quran untuk menyajikan petunjuknya, yaitu dengan sajian pelajaran-pelajaran bagi para pembacanya. Puncaknya bahwa al-Quran menuntun manusia untuk mengenal tuhannya, juga agar manusia mampu memikul tugas sebagai khalifah di muka bumi. Kata kisah sendiri secara bahasa berasal dari akar Qashsha صق, bisa diartikan sebagai menelusuri jejak. Adapun secara epistimologi berarti menelusuri dari sebuah peristiwa atau kejadian denga cara menyampaikan atau menceritakannya tahap demi tahap sesuai kronologi kejadiannya. Shihab, 2013 Sedangkan kisah dalam konteks al-Quran, diartikan oleh Manna’ al-Qaththan sebagai cerita yang diinformasikan oleh al-Quran mengenai umat-umat zaman dahulu, peristiwa nabi-nabi serta peristiwa lain yang terjadi masa terdalalu. Al-Qathhthan, 2000 Sikap para ulama terhadap berbagai kisah yang disampaikan dalam al-Quran berbeda-beda. Secara garis besar sikap mereka dibagi menjadi 2 sikap, pertama; sementara ulama memahami seluruh peristiwa atau kisah-kisah al-Quran sebagai bentuk peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di dalam dunia ini. Maka sebagian ulama dengan pemahaman seperti ini meneliti segala fakta sejarah yang dapat mendukung peristiwa pada kisah-kisah tertentu. Kedua; sebagian ulama lain memahami bahwa sebagian peristiwa dalam kisah al-Quran adalah simbolik. Sorotan utama dari kisah yang simbolik adalah kandungannya. Seperti contoh kisah Isa menghidupkan orang mati, kisah ini tidak dipahami sebagai menghidupkan orang mati secara jasad, akan tetapi menghidupkan orang yang telah mati hatinya.Shihab, 2013 Selama ini pengkajian terhadap kisah-kisah dalam al-Quran terfokus pada penggalian aspek bukti kesejarahannya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kemukjizatan al-Quran dengan meligitimasi keberadaan kisah dalam al-Quran sebagai fakta sejarah yang sungguh-sungguh terjadi. Disisi lain, sering kali perhatian terhadap ibrah atau pelajaran yang terkandung dalam kisah justru kurang, bahkan sampai 287 terlalaikan.Shihab, 2013, p. 14 Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali ulama yang mengkaji ini. yaitu Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi, salah satu ulama yang sangat memperhatikan unsur pelajaran yang terkandung dalam kisah. Syeikh Mutawalli memandang bahwa kisah dalam al-Quran bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan bisa terjadi di setiap masa dan di setiap tempat. Pandangan beliau ini dituangkan dalam satu kaidah, yaitu apabila al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh pada konteks kisahnya, maka peristiwa yang serupa dapat terulang’. Pandangan ini terbilang cukup baru karena Muatwalli as-Sya’rwai sendiri hidup di tahun 1911 sampai 1998. Hal ini menunjukkan bahwa kaidah tafsir tidak bisa dianggap final setelah dikarangnya beberapa kitab kaidah tafsir oleh para ulama klasik, namun bisa saja ditemukan suatu kaidah-kaidah baru yang dianggap layak untuk memahami al-Quran.Shihab, 2013, p. 14 Dalam artikel ini akan disajikan bagaimana pandangan dan tawaran akademik oleh Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi menyangkut kisah dalam al-Quran B. RIWAYAT HIDUP SINGKAT ASY-SYA’ROWI Nama lengkap asy-Sya’rowi adalah Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rowi, beliau lahir pada tanggal 17 Rabi’uts Tsani 1329 H, yang bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, kecamatan Mait Ghamir, provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Saat itu Mesir masih berada di bawah penjajahan Inggris. Beliau merupakan seorang tokoh kenamaan yang lahir di tanah Mesir yang menjadi daerah tempat tinggalnya para ulama pembaharu Islam mujaddid. Al-Sya`rawi telah berhasil mengahsilkan karya tafsir dan belau dikenal sebagai seorang ahli tafsir kontemporer.Jazar, 1409 Kitabnya berjudul Ana Min Sulalat Ahli Al-Bait, disana ia menyebutkan perihal nasabnya bahwa dirinya merupakan keturunan dari cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hasan dan Husein mengenai Latar belakang keluarga as-Sya’rowi termasuk keluarga terhormat, ayah beliau seorang petani yang penuh dengan kesederhanaan, mengolah tanah milik orang lain. Meskipun begitu ayahnya gemar dan cinta akan ilmu dan sering kali menghadiri majlis untuk mendengarkan tausiyah para ulama’.Sa`îd Abû al-`Ainain, 1995, p. 6 Harapannya kelak agar Sya’rowi menjadi menjadi seorang ilmuwan, dan bisa belajar di Universitas al-Azhar. Sebagai anak, asy-Asya’rowi mengakui besarnya peranan ayahnya. Dalam bidang pendidikan asy-sya’rawi mulai menghafal al-Qur’an kepada Syekh Abd al-Mjid Pasha, dan doselesaikannya pada usia 11 tahun. Pendidikan formalnya, pada tahun 1926 M, belajar di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq. Sejak beliau kecil, sudah tampak kecerdasannya dalam menghafal syair puisi dan pepatah arab dari sebuah 288 perkataan dan hikmah, kemudian mendapatkan ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1932 M`. Pada waktu duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah lembaga pendidikan menengah, bakat dalam syair dan sastra terus dikembangkan, beliau mendapatkan tempat khusus di antara teman-temannya. Beliau juga terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa serta ketua perkumpulan sastrawan yang berada di Zaqaziq. Beliau bersama rekan-rekannya seperti Prof. Khalid Muhammad Khalid, Dr. Ahmad Haikal, Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji, Dr. Hassan Gad dan penyair Thahir Abu Fasya. Mereka menunjukkan tulisan kepadanya. Setelah lulus dari sekolah menengah, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar pada fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M. Sa`îd Abû al-`Ainain, 1995, p. 29, tahun 1941 dia lulus S1. Setelah meraih gelar strata satunya kemudian diizinkan mengajar pada tahun 1943M di sekolah agama di bawah naungan al Azhar. Asy-Sya‟râwi kemudian ditugaskan ke Institut Agama yang berada di Thanta. Kemudian dia dipindahkan ke Institut Agama di Zaqaziq, dan setelah itu di Institut Agama di Iskandaria. Pada tahun 1950 M, asy-Sya‟râwi pindah kerja ke Saudi Arabia sebagai dosen Syari'ah pada Universitas Ummu al-Qurro, Mekkah al-Mukarramah. Tahun 1960M, dia serta pengajar dari al-Azhar yang berada di Saudi di tarik kembali ke Mesir, karena saat itu terjadi perselisihan antara Presiden Mesir, Jamal Abd an-Naser, dengn Raja Su’ud. Karir asy-Sya‟râwi mulai meningkat ketika menjadi dosen sembilan tahun pada jurusan Tafsir-Hadis di Fakultas Syari‟ah Universitas al-Malik ,Abd al-„Aziz di Mekkah tahun 1951M. Selanjutnya, tahun 1960 M dia dipilih sebagai wakil kepala sekolah di al-Azhar di Tantha. Dia menduduki jabatan direktur pada pengembangan dakwah Islam di Departemen Agama tahun 1961 M. Tahun 1962 M dia diberi amanah menjadi pengawas pengembangan bahasa Arab di al-Azhar. Kemudian, tahun 1964 M, asy-Sya‟râwi mendapatkan penghargaan serta ditugaskan di Kairo sebagai Direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh Husein Ma'mun. Rabu 17 Juni 1998M, Syaikh asy-Sya‟rawi kembali ke haribaan Ilahi, tepat di usia 87 tahun. waktu pemakamannya, berjumlah ratusan ribu orang dating dan memenuhi kuburnya di Kampung Daqadus, wujud penghormatan terakhir bagi „allama. Herry Muhammad, 2006, p. 277 Dalam perjalanan hidupnuya, tida banyak karya yang beliau tulis dikarenakan kesibukannya dalam berdakwah secara langsung lisan di tengah-tengah masyarakat Islam. Akan tetapi ceramah-ceramahnya yang kemudian dicetak dalam bentuk buku mendapatkan sambutan positif di kalangan Muslim. Karya beliau yang terkenal diantaranya yaaitu Tafsir Asy-Sya’rowi. Karya ini mengacu pada nama penulisnya yaaitu Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟rawi. Awalnya, 289 karya tafsir ini tidak dibukukan sebagai kitab tafsir. Saat itu merupakan hasil dokumetasi yang ditulis dari ceramah yang telah disampaikan asy-Sya‟rawi. Hasil rekapan ceramah tersebut terlebih dahulu terbit pada majalah al-Liwa‟ al-Islamy No. 251-332, selanjutnya dijadikan buku seri berjudul khawatiri hawl al-Qur‟an al-Karim terbitan dar Mayu al-Wathaniyyah tahun 1982. Tahun 1991 M, tafsir ini terbit pada penerbit Akhbar al-Youm. Tafsir Asy-Sya‟rawi itu sendiri ditulis oleh Lajnah perkumpulan dimana diantara anggotanya adalah „Abdul Waris ad-Dasuqi dan Muhammad as-Sinrawi. Beliau menguraikan dalam muqaddimah tafsirnya “Hasil renungan saya pada al-Qur’an bukan berarti tafsiran al-Qur‟an, melainkan hanya percikan pemikiran yang tertulis dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur‟an. Kalau memang al-Qur’an dapat ditafsirkan, sebanarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah saw, karena kepada beliaulah al-Qur‟an diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur‟an dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur‟an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah swt.”Asy-Sya’rowi, 1999 C. HAKIKAT KISAH DALAM AL-QUR’AN 1. Maksud dan Tujuan Kisah dalam al-Qur’an Kisah secara bahasa, berasal dari bahasa arab yaitu al-Qishah, kata itu serupa dengan Qashsha yang berarti menelusuri jejak.Shihab, 2013 Sementara kata Qashash merupakan bentuk mashdar yang berarti mengikuti jejak atau mencari jejak. Didefinisikan oleh ulama’ kata “kisah” berarti menelusuri peristiwa/kejadian dengan jalan menyampaikan/menyeritakannya tahap demi tahap sesuai dengan kronologi kejadiannya.Shihab, 2013, p. 319 Manna’ Khalil al-qattan mendefinisikan istlah Qashahs dengan berita yang berurutan, sedangkan pada kata qishah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.Al-Qathhthan, 2000 Sedangkan qashah al-qur’an menurutnya adalah pemberitaan qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat kenabian yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Menurutnya juga dalam kandungan al-Qur’an banyak yang memuat beberapa peristiwa , sejarah umat pada masa lalu, serta keadaan negara dan daerah perkampungan mereka yang semua diceritakan dalam al-Qur’an dengan kemasan yang menarik dan pembacanya seakan-akan berada pada kondisi yang diceritakan.Al-Qathhthan, 2000, p. 306 Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk mempunyai beberapa metode untuk menyampaikan pesan dalam al-Qur’an, salah satu diantaranya yakni al-Qur’an berkisah. 290 Bentuk-bentuk kisah yang tersaji dalam al-Qur’an mempunyai beberapa bentuk, pertama, adanya kisah yang yang fokus pada pelaku sebagai objek cerita. Bentuk pertama ini dapat ditemui dalm kisah mengenai tokoh, baik mereka termasuk nabi ataupu bukan. Kedua, kisah seputar kaum terdahulu. Apa yang dialami oleh berbagai komunitas dalam sejarah peradaban dunia, baik jejak peninggalannya masih bisa ditemui maupun yang sudah tak terlacak. Ketiga, al-qur’an terkadang bercerita tentang peristiwa yang pelakunya diceritakan secara samar karena fokus padaperistiwa atau objek cerita. Hosen, 2020, p. 289 Sedangkan pemaparan kisah-kisah dalam al-Qur’an menurut syekh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, menjadi metode pengajaran yang ada dalam al-Qur’an. Dan mempunyai cara dalam memaparkannya, bahwa kisah yang panjang dirangkum dalam beberapa kalimat sederhana lalu dirinci sesuai alurnya. Dan sesuatu yang penting diungkapkan mulai dari tingkatnya yang rendah ke yang lebih tinggi, atau sebaliknya.As-Sa’di, 1997, p. 179 Seperti pada kisah nabi Yusuf, Allah Berfirman “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik”. QS. Yusuf [12] 3 Kemudian baru menceritakan kisah secara terinci dengan diali kalimat “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf Dn saudara-saudaranya bagi orang yang bertanya. QS. Yusuf[12] 7 Dan setelah itu baru kisahnya dipaparkan dsecara terinci. Sayyid Quthub menguraikan tentang makna atau tujuan dari kisah al-Qur’an Quthub, Pertama, penegasan bahwa Qur‟an adalah wahyu Allah SWT serta Muhammad SAW adalah utusan-Nya dalam keadaan tidak memahami baca maupun tulis, akan tetapi dia bisa mengetahui juga menyampaikan kisah-kisah masa sebelumnya. Kedua, menerangkan jika semua agama yang dibawa oleh rasul-rasul serta nabi mulai dari Nabi Nuh as sampai dengan Nabi Muhammad SAW bersumber dari Allah SWT dan semua mukmin merupakan umat yang satu, Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat Qs. al-Anbiya’ [21]48 dan 92. Dasar agama bersumber dari Allah, memiliki prinsip sama. Maka dari itu, dasar-dasar keyakinan selalu diulang-ulang, bahwa dia mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa Qs. al-a’râf [7]59, 65, dan 73. Ini menunjukkan misi dari para nabi dalam berdakwah sama serta sambutan oleh kaumnya juga hampir sama, agama yang dibawa pun dari sumber sama, yaitu Allah Qs. Hûd [11]25, 50, 60, dan 62. Antara agama Nabi Muhammad SAW serta Nabi Ibrahim as khususnya dengan agama Bani Israil pada umumnya ada kesamaan dasar yang memiliki kaitan kuat. Ketiga, memaparkan bahwa Allah SWT selalu bersama nabi-Nya, memberikan hukuman pada orang-orang yang mendustakan kerasulannya. Selain itu, untuk menguraikan nikmat Allah SWT pada nabi-nabi serta pilihannya. Contohnya, Nabi Daud dan Sulaiman, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi 291 Zakariya, Maryam dan Nabi Isa. Keempat, peringatan terhadap manusia untuk selalu waspada dari godaan-godaan setan semenjak Nabi Adam. Selain itu, untuk menjelaskan atas kekuasaan Allah terhadap peristiwa-peristiwa luar biasa, yang tidak dapat dijangkau akal pikiran umat manusia. 2. Unsur dan Macam-Macam Kisah Kisah di dalam al-Qur’an mempunyai unsur yang umumnya meliputi hal-hal pertama, al-ahdâts peristiwa. Peristiwa tersebut tidak selalu diceritakan sekaligus, akan tetapi bertahap atau pun berulang sesuai kronologis kejadian serta sesuai titik tekan dari tujuan kisah. Kisah al-Qur‟an sebagai gambaran realitas serta logis dan bukan kisah rekayasa. Namun, kisah al-Qur‟an juga dapat menjadi makna imajinatif, kehalusan budi, kesejukan, kesadaran, renungan, kesadaran serta pengajaran. Kesadaran dan pengajaran ibrah sebagai wujud dari derajat takwa martabat paling mulia dari amal ibadah. Kedua, al-asykhâsy tokoh-tokoh. Tokoh serta aktor tersebut dapat berupa nabi-nabi juga rasul, orang-orang saleh, jin, maupun hewan. Aktor terkadang tidak dimaksudkan dalam titik sentral serta bukan pula sebagai tujuan kisah. Itulah sebabnya sang tokoh terkadang tidak disebutkan. Ketiga, al-hiwâr dialog. Dialog yang berlangsung dengan dalam kalimat langsung menjadikan seolah-olah yang membaca kisah itu menyaksikan secara langsung jalannya kisah. Ketiga unsur di atas bisa dikatakan selalu ada pada kisah-kisah al-Qur’an. Akan tetapi, peranan dari ketiga unsur tersebut tidak berarti sama sehingga terkadang salah satu diantara saja yang ditekankan, sementara lainnya menjadi tidak tampak. Jika kisah yang dimaksudkan sebagai peringatan menakut-nakuti, maka yang lebid ditampilkan pada peristiwanya, misal pada kisah kaum Tsamûd dengan Nabi Saleh di QS. Al Syams dan al-Qamar. Kemudian untuk kisah yang dimaksudkan memberi keteladanan moral dan keteguhan hati Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya, maka lebih ditampilkan pada pelakunya. Kemudian, jika yang ditekankan pada hal berkaitan mempertahankan dakwah serta untuk membantah penentangnya, maka yang lebih ditekankan pada unsur dialognya. Naqrah, Sementara itu, untuk macam-macam dari kisah al-Qur’an didasarkan pada tokohnya dapat dikategorikan sebagai berikut pertama, kisah dari rasul-rasul serta nabi yang menyangkut dakwah pada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang pernah terjadi serta perilaku atau respon dari para penentang, juga akibat-akibat yang dirasakan para penentangnya. Kedua, kisah-kisah berkaitan dengan umat-umat zaman dahulu yang tidak dapat dipastikan masa kenabiannya, seperti kisah Thâlut, Jâlût, dua putra Adam, Ashâb al-Kahfi, Zulqarnain, Luqmân al-Hakim, dan seterusnya. Ketiga, kisah berkaitan dengan peristiwa terjadi di zaman Nabi SAW seperti perang Badar, Uhud dan Hunain dan sebagainya. 292 3. Hakikat Kisah-Kisah al-Qur’an historis atau Imaginer Seorang sastrawan yakni Khalafullah berpendapat mengenai kisah, menurutnya suatu kisah termasuk juga kisah yang ada di al-qur’an itu bisa benar terjadi atau bisa jadi tidak terjadi. Namun, mayoritas ulama’ tidak sepakat dengan argumen Khalafullah tersebut. Menurut mereka, jika definisi kisah seperti itu maka akan menimbulkan implikasi buruk pada al-Qur’an, yakni adanya sangkaan jika kisah-kisah yang ada di al-Qur’an terdapat khayali kisah yang tidak nyata terjadi, dapat disimpulkan karena kisah itu tidak benar terjadi, maka al-qur’an itu bohong. Padahal al-Qur’an sendiri mengatakan “Kami menceritakan kisah kepadamu Muhammad dengan sebenarnya”. QS. Al-Kahfi [18] 13 Setelah memahami uraian definisi tentang kisah-kisah dalam al-quran, mengutip dari pendapat Abdul Mustaqim, kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak ada kisah fiktif jika dilihat secara normatif-teologis.Mustaqim, 2011, p. 269 Al-Qur’an dalam menyebut kisahkisahkan dapat dikasifikasikan menjadi tiga aspek, yaitu Pertama, cerita yang benar-benar terjadi, bukan fiktif atau disebut juga dengan haqiqi waqi’i. Kedua, pengulangan kisah namun menggunakan bentuk penyebutan yang berbeda, yakni dengan penuturan yang indah dan mengesankan. Pengulangan cerita tidak terasa monoton ketika membacanya, sebab penggunaan pola yang beragam di dalam alquran serta mengungkapkan sisi balaghah Qur’an. Dalam aspek kedua ini disebut juga dengan al-fanni al-balaghi. Ketiga, kisah-kisah tersebut mengandung pesan-pesan moral untuk ajaran dan tuntunan umat manusia atau dinamakan juga ta’limi wa al-tarbawi. Ada ulama’ yang meragukan dari kenyataan kisah, seperti pada kisahnyanya nabi Nuh, apakah memang benar terjadi banjir Nuh sangat dahsyat?, apa benar ada tokoh yang namanya ratu Balqis?. Perlu ditekankan kembali bahwa al-Qur’an bukan kitab sejarah, namun merupakan kitab petunjuk. Kalau al-Qur’an mengkisahkan peristiwa terdahulu tentu titik penekanannya ada di pesan moralnya.Hosen, 2020, p. 290 Lagi pula tuduhan al-Qur’an hanya sebagai sebuah dongeng sudah diutarakan sejak dulu. Sebagaimana surat al-Anfal [8] ayat 31   Artinya “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata "Sesungguhnya kami telah mendengar ayat-ayat yang seperti ini, kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, Al Quran ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala".” QS. Al-Anfal [8] 31 Hal ini dibantah dengan jeas oleh Allah dengan firman-Nya, 293     Artinya “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” QS. Yusuf [12] 111 Alasan al-Qur’an menggunaan kisah, juga keberadaan ayat kisah lebih banyak daripada ayat berkaitan dengan hukum` itu sebabnya pada pada dasarmya manusia senang dengan mendengar, membaca, juga menyaksikan kisah. Kisah terdapat dalam al-Qur’an cukup ringkas dengan demikian tidak menyita waktu meresapinya. Disamping itu, cerita yang dahsyat itu adalah yang mampu menyerap emosi pendengar seolah-olah kisah itu nyata dan tampak dihadapan mereka padahal kita tidak berada disana. Inilahcara berkisah yang dlakukan al-qur’an secara piawai dan menawan hati.Hosen, 2020 Misalnya dalam QS. Ali Imron ayat 44, “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu ya Muhammad; padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka untuk mengundi siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa” QS. Ali Imron [3] 44 Menyangkut masalah kisah-kisah sebagaimana di al-Qur’an. Apakah cerita yang diungkapkan di al-Qur’an itu sebuah historis? Ataukah cerita itu merupakan imajinasi?, untuk menjawab persoalan itu, diketahui bahwa para ulama/cendekiawan berpendapat kisah al-Qur’an itu benar-benar terjadi secara nyata historis dan kemudian sebagian kisah-kisahnya itu merupakan simbolik. Untuk kisah-kisah yang menurutnya simbolik adalah memiliki kebenaran secara material, akan tetapi kebenaran faktual kisahnya tidak dipaksakan untuk benar-benar faktual, karena kisah yang masuk pada kriteria ini hanya sebagai simbol untuk keperluan memberi contoh. Untuk kriteria kisah pada pendapat ini memindahkan dari makna hakiki lafadz ke majazi.Hosen, 2020 Sebagimana kisah nabi Isa menghidupkan yang mati, mereka tidak memahami menghidupkan seseorang yang denyut jantungnya telah berhenti atau otaknya sudah tidak berfungsi lagi, namun memahaminya sebagai menghidupkan orang yang mati hatinya. Berangkat dari adanya kisah dalam al-quran yang mengandung makna simbolik dan kebenaran historisnya belum bisa di anggap kisah fikfif atau benar terjadi, meskipun di ramu dengan penyampaian narasi yang indah, sebenarnya hal ini tidak bermaksud kisah yang indah harus merekayasa sebuah peristiwa, dan tidak berarti juga Tuhan tidak bisa membuat cerita yang empiris dengan ungkapan yang indah. Sejalan dari asumsi ini pada konteks kisah al-Qur’an pada dasarnya menekanan kebenaran serta keindahan, mengacu kepada al-Qur’an sebagai kitab suci hidayah yang merupakan 294 pedoman hidup umat manusia. Az-Zarqoni menegaskan bahwa “al-Qur’an mengungkapkan cerita-cerita masa lalu yang masih ghoib, niscaya akan dibuktikan oleh sejarah”.Al-Zarqani, Seperti contoh, yang dikisahkan dalam al-Qur’an tentang kaum Saba’ yang bendungannya runtuh menyebabkan berpencar terkoyak-koyak, dalam QS. Saba’[34] ayat 15. Dalam kisah tersebut kemudian terbukti fakta sebab bendungan Sad Ma’rib ditemukan sisa-sisa reruntuhannya di wilayah Yaman Selatan, di dikenal dengan nama Ma’rib. Bendungan yang di bangun abad ke-8 SM serta beberapa kali diperbaiki. Terkahir kehancurannya pada tahun 575 M, lalu ia dibangun lagi atas biaya Uni Emirat Arab pada tahun 1986 M.Shihab, 2013, p. 329 D. KAIDAH MEMAHAMI KISAH DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF ASY-SYA’RAWI Pada kisah-kisah tersaji di dalam al-Quran, sering kali nama-nama asli tokohnya disamarkan dengan hanya menyebutkan gelarnya, seperti Dzulqarnain, Firaun,dan lain sebagainya. Selain nama tokohnya, latar waktu dan tempat kisah-pun tidak disebutkan. Hal ini karena maksud sesungguhnya pada kisah-kisah yang ada di al-Quran adalah untuk menyajikan pelajaran dan hikmah, bukan untuk menyajikan fakta sejarah secara utuh dari kisah yang bersangkutan.As-Sya’rawi, Bahkan menurut Mutawalli as-Sya’rawi, seorang yang mengkaji fakta sejarah terhadap kisah-kisah yang ada di al-Qur’an hanya akan membuang waktu dan tenaga saja. Hal ini karena sebagian besar dari kisah dalam al-Quran adalah perumpamaan yang dapat mengejawantah pada setiap manusia. Dengan kata lain bahwa kejadian dari kisah dalam al-Quran bukan terbatas pada individu tokohnya saja, melainkan dapat berlaku pada setiap orang, di waktu dan tempat manapun. Pandangan ini setidaknya dapat menjadi jalan kontekstualisasi dan juga anti-tesis terhadap sebagian orang yang berpendapat bahwa kisah dalam al-Quran adalah peristiwa sejarah, tidak terjadi dimasa sekarang dan tidak akan terulang.Asy-Sya’rowi, 1999 Pandangan Mutawalli as-Sya’rawi diatas, kemudian diformulasikan menjadi kaidah penafsiran al-Quran, yang berbunyi “apabila al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka peristiwa serupa dapat terulang”. Sebaliknya “apabila al-Quran menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang”.Shihab, 2013, p. 14 Kisah yang bisa terulang seperti apa yang disebut dalam kaidah pertama adalah seperti kisah Firaun. Dalam kisah ini, Allah tidak menyebutkan siapa diri Firaun yang sezaman dengan Nabi Musa tersebut, pada tahun berapa dan dimana latar tempat kisah tersebut. Demikian ini karena tujuan dari kisah itu bukan untuk mengetahui siapa sebenarnya Firaun, dimana dan kapan ia hidup. Sehingga pengkajian kisah Firaun degan mencari data sejarah sosok Firaun dalam al-Quran 295 tidaklah penting menurut as-Sya' berkata Apakah Firaun yang semasa dengan Nabi Musa adalah Ramses kedua atau Ramses keberapa, penelitian semacam ini hanya membuang waktu. Karena yang menjadi tujuan dari kisah dalam al-Quran adalah pelajaran dari kisah tersebut. Sosok Firaun oleh as-Sya’rawi digambarkan sebagai orang yang dzalim dan menuhankan dirinya, ia berkata “akulah Tuhanmu yang tertinggi” an-Naziat24. Kedzalimannya terhadap bani Israil berupa penindasan yang sangat kejam dan membunuh anak laki-laki yang terlahir dari bani Israil seperti tergambar dalam surat al-Baqarah 49, surat al-A’raf 141, dan surat Ibrahim6, karena ia takut kehilangan kekuasaannya setelah bermimpi akan datang seorang anak dari kalangan bani Israil yang akan menggulingkan kekuasaannya.Asy-Sya’rowi, 1999, p. 327 Namun akhirnya Firaun dengan para pengikutnya musnah ditenggelamkan oleh Allah dengan mendapat balasan siksa, “Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia” an-Naziat25. Kisah Fir’aun tersebut memberi pelajaran bahwa terdapat orang-orang dimana mereka menuhankan dirinya, orang-orang dikdaktor yang berlaku dzalim sebagimana dilakukan oleh Firaun. Orang yang dzalim seperti itu akan berakhir dengan tragis, dan akan mendapat siksa di akhirat kelak. Orang seperti ini bukan hanya Firaun, tapi bisa ditemui pada sosok-sosok lain, siapapun itu, kapan dan dimanapun itu. Mengutip dari Buya Hamka, bahwa ada beberapa pemimpin dikdator yang selalu menganggap dirinya benar, tidak mau salah dan disalahkan. Para pengikutnya setia memuja hingga menempati pemujaan terhadap Tuhan. Pemimpin-pemimpin tersebut seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Stalin di Uni Soviet dan lain-lain.Amrullah, 1982, p. 630 Dengan menyamakan sifat dan perilakunya, orang-orang semacam itu bisa dikatakan sebagai Fir’aun, Fir’aun sosok baru, bukan raja Mesir yang hidup pada masa Nabi Musa. Contoh lain adalah kisah Dzul Qarnain, kisah ini diabadikan dalam al-Qur’an, mulai dari ayat 83 surat al-Kahfi. Disana tidak dibicarakan siapa sesungguhnya Dzul Qarnain, siapakah orang-orang yang didapatinya, dan dimana tempat terbit dan terbenamnya matahari “Hingga apabila dia telah sampai pada tempat terbenamnya matahari, dia pun melihat matahari terbenam kedalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati disitu di laut itu segolongan umat….” al-Kahfi 86. Karena bagi as-Sya’rawi, tidak penting membahas siapa sesungguhnya Dzul Qarnain, dimana latar tempat kisah beliau, apakah itu di Habasyah ataupun di Yaman. Melainkan tujuan utama kisah tersebut adalah memberi kita pelajaran bahwa ketika kepemimpinan dikuasai oleh orang baik maka akan terwujud kebaikan, begitu sebaliknya akan binasa kedzaliman, dan orang-orang lemah akan terberdayakan.As-Sya’rawi, Sehingga sosok Dzul 296 Qarnain akan mengejawantah di setiap tempat dan waktu, yaitu berupa orang-orang baik yang memberdayakan sesamanya, bahkan sosok tersebut berada disekitar kita sekarang. Namun perlu diperhatikan bahwa ketidak-pentingan mengungkap jati diri Dzul Qarnain, dimana latar tempat kisahnya, dan lain-lain menurut as-Sya’rawi, bukan berarti tidak penting sama sekali untuk dibahas. Karena dalam tafsirnya, as-Sya’rawi pun mencoba membahas siapa Dzul Qarnain pada surat al-Kahfi ayat 83 “Dan mereka bertanya tentang Dzul Qarnain”. Dzul Qarnain bukanlah nama asli, melainkan gelar. Oleh sebagian Ilmuwan Dzul Qarnain adalah Alexander Agung, namun hal ini dibantah oleh Abu al-Kalam Azad, karena Alexander Agung berada di barat, sedangkan Dzul Qarnain dalah pengembara bagian Timur dan Barat. Menurut Azad, gelar Dzul Qarnain dalam al-Qur’an tersebut ditujukan untuk Cyrus yang saleh, bukan Alexander Agung yang kafir dam merupakan murid dari Aristoteles.Asy-Sya’rowi, 1999, p. 8975 Kaidah diatas berlaku untuk kisah yang tidak menyebutkan nama asli tokoh seperti Firaun, Dzul Qarnain, dan lain-lain. Sehingga ada nama asli tokoh yang disebutkan secara lengkap menyebutkan nama depan dan belakang dalam al-Quran termasuk kisah yang tidak akan terulang lagi, seperti isi kaidah kedua yang berbunyi “apabila al-Quran menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang”. Penyebutan nama yang seperti ini, hanya terdapat pada dua tokoh yaitu Isa bin Maryam dan kisah Maryam binti Imran. Pengecualian ini dikarenakan penyebutan nama kedua tokoh tersebut secara lengkap, yaitu disebutkan nama depan dan nama belakang. Berbeda dengan penyebutan nama-nama Nabi lain yang hanya menyebut nama depannya saja, seperti Yusuf, Sholih, Yunus, dan lain sebagainya. Allah berfirman “Dan ingatlah Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari tuh ciptaan kami…” At-Tahrim 12 “Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya” Maryam 34 Penyebutan nama tersebut karena Isa dan Maryam dibedakan dengan seluruh makhluk lainnya, bahwa tidak akan ada wanita yang dapat mengandung anak tanpa laki-laki kecuali Maryam binti Imran. Selain itu tidak ada anak yang lahir tanpa ayah serta ibu kecuali Isa bin Maryam.Asy-Sya’rowi, 1999 Maka kisah ini tidak akan terulang pada masa kapanpun dan ditempat manapun. Apabila ada perempuan mengaku mengandung anak tanpa bantuan seorang laki-laki, atau seorang anak mengaku lahir tanpa ayah yang menggauli ibunya, maka pengakuan seperti ini adalah hoax belaka. Apa yang menjadi keterangan dalam kaidah kedua tersebut masih meninggalkan pertanyaan yang perlu dijawab. Oleh as-Sya’rawi, kisah yang relevan dengan kaidah kedua sekaligus menjadi pengecualian kaidah pertama hanya kisah Maryam binti Imran 297 dan Isa bin Maryam, karena kedua nama tersebut disebut secara lengkap nama depan dan belakang. Namun bagaimana dengan kisah-kisah lain seperti Ibrahim yang ketika dibakar oleh kaum raja Namrud “Mereka berkata, Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat” al-Anbiya 68, namun dengan pertolongan Allah, Ibrahim tidak hangus saat dibakar “Kami Allah berfirman, Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim” al-Anbiya 69. Dan juga bagaimana dengan kisah Musa membelah lautan ketika dikejar oleh bala tentara Firaun “…, Dan pukul lah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, engkau tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir akan tenggelam” Taha 77, dan mengubah tongkat menjadi ular “Lalu Musa melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya” al-A’raf 107. Apakah kisah-kisah ini dapat terulang?. Hemat kami, bahwa peristiwa dalam kisah diatas tidak terulang lagi karena itu merupakan mukjizat yang ditujukan hanya pada para rasul dan nabi. Itu adalah keistimewaan khusus yang tidak dapat dimiliki oleh semua manusia. Maka pengecualian peristiwa dalam kisah yang dapat terulang tidak hanya dalam kisah Maryam dan Isa melainkan semua peristiwa yang berupa mukjizat para nabi dan rasul. Sehingga yang perlu diperhatikan dalam kisah semacam ini adalah teladan luhur yang terkandung di dalamnya. Tawaran kaidah oleh as-Sya’rawi tersebut, nampaknya ingin mangajak para pembaca, pengkaji, dan seluruh orang Islam secara umum untuk memposisikan suatu kisah dalam al-Quran menjadi sangat penting dalam kehidupan mereka, karena kisah tersebut bukanlah dongeng atau peristiwa yang berlalu saja, melainkan ia tetap hidup dan nyata disetiap generasi. Pelajaran didalamnya nyata dalam kehidupan, bagaimana seorang yang dikaruniai kekuatan dan kekuasaan seharusnya menjadi seperti Dzul Qarnain sehingga dia bisa selamat dan memberi kemanfaatan bagi lainnya. Dan seharusnya tidak menjadi Firaun yang dzalim dan penuh kesombongan sehingga dia akan celaka dunia dan akhirat. Pelajaran yang diambil tidak hanya dari kedua kisah tersebut, namun dari semua kisah-kisah dalam al-Quran dengan pegecualian yang telah disebutkan pula. E. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam memahami kisah dalam al-Quran, Mutawalli as-Sya’rawi lebih menekankan pada aspek pelajaran yang terkandung di dalamnya, juga mengkontekstualisasikannya pada kehidupan nyata, sehingga kurang mementingkan kajian sejarahnya. Penekanannya tersebut tertuang dalam kaidah bahwa suatu kisah yang tidak menyebutkan nama asli tokohnya, maka kisah tersebut akan terulang dimanapun dan kapanpun. Seperti firaun yang dzalim, dikdator, dan menuhankan 298 dirinya. Begitu pula Dzul Qarnain, yang baik dan memberdayakan orang lemah. Sosok-sosok seperti dua tokoh ini akan terus ada di dalam kehidupan, dimanapun dan kapanpun. Berbeda lagi dengan nama yang disebutkan secara lengkap seperti Maryam binti Imran dan Isa bin Maryam, kisah keduannya tidak akan terulang. Maka tidak akan ada perempuan yang mengandung tanpa laki-laki, dan tidak akan ada anak yang lahir tanpa laki-laki yang menggauli ibunya. Tidak hanya kisah Isa dan Maryam saja yang tidak dapat terulang lagi, melainkan peristiwa yang berupa mukjizat para nabi dan rasul pun tidak dapat terulang kembali. Dengan kaidah ini suatu kisah dalam al-Quran diposisikan menjadi sangat penting dalam kehidupan para pembacanya, karena kisah tersebut bukanlah dongeng atau peristiwa yang berlalu saja, melainkan ia tetap hidup dan nyata disetiap generasi. Pelajaran didalamnya nyata dalam kehidupan. Saran artikel ini masih jauh dari kata sempurna untuk mengulas pemikiran as-Sya’rawi dalam ranah kisah dalam al-Quran. Maka penulis menyarankan beberapa aspek yang bisa dikaji untuk penelitian berikutnya, yaitu pertama, genealogi pemikiran as-Sya’rawi, dengan mengkorelasikan latar belakang kehidupannya dengan pemikiran yang ditawarkannya. Kedua, membahas kisah-kisah lain dalam al-Quran perspektif as-Sya’rawi, dengan menggali dari tafsir sya’rawi dan sumber lainnya. F. DAFTAR PUSTAKA Al-Qathhthan, M. bin K. 2000. Mabahits fii ulum al-Quran. Al-Zarqani, M. Abd al-H. Manahil al-Irfan. Amrullah, A. A. 1982. Tafsir al-Azhar. As-Sa’di, A. N. 1997. Al-Qowaid al-Hisan li-Tafsir al-Qur’an. As-Sya’rawi, M. M. Surah al-Kahfi. Asy-Sya’rowi, M. M. 1999. Tafsir Asy-Sya’rowi. Herry Muhammad. 2006. Tokoh-Tokoh yang Berpengaruh Abad 20. Hosen, N. 2020. Tafsir Al-Qur’an di Medsos. Jazar, M. Y. 1409. Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn `Ashrihi. Mustaqim, A. 2011. Kisah Al-Qur’an Hakikat, Makna, dan Nilai pendidikannya. Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, XV. Naqrah, Sikulujiyah al-Qishshah fî al-Qur’ân. 299 Quthub, S. al-Tashwîr al-Fanni fî al-Qur‟ân Beirut Dâr al-Ma„ârif. Sa`îd Abû al-`Ainain. 1995. Al-Sya`râwi Anâ min Sulâlat Ahl al-Bait. Shihab, Q. 2013. Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran. Izzuthoriqul Haq Muhammad Labib SyauqiThis study aims to examine the methods, processes of interpretation tafsir, and religious discourses that develop on social media, as well as the implications and effectiveness of its interpretation for the readers. It is a case study of the Instagram account qur'anreview. Amid the trend of Qur’an interpretation on social media, this qur'anreview account has attracted the attention of netizens through its religious content presentation in the form of interpretation as its language style, diction, and nuances meet the millennial generation. Based on the hermeneutic, critical discourse analysis, and mass communication effect theoretical approach, the results of the study show that the religious content presented by the quranreview account focuses on the language approach presented in the form of thematic interpretation. The interpretation follows the opportunistic and omnivorous characteristics of the digital native. The interpretation model is quite effective and has implications for the cognitive, affective, and behavioral aspects of the readers. While the social space of its interpretation is based on the culture of social media and digital native, which leads to popular Islamic MustaqimQur’anic stories are among God’s methods to educate human being. They contain moral of stories which send messages to people without indoctrinating. Conversely, they provide some interesting and enjoyable teachings and values. The main objective of the narrative stories of the Qur’an is to give lesson to human beings, along with their two functions, abd al-Lâh servant of God who must serve the Lord and as khalîfah al-Lâh representative of the Lord. By using descriptive analytical method and thematic interpretation approach, the article describes various educational values in the stories of the Qur’an. From some samples of stories in the Qur’an, the writer concludes that there are many educational values in the stories of the Qur’an, namely tauhid the unity of God, intellectual, moral, sexual, spiritual and democracy Salah satu cara Tuhan dalam mendidik manusia adalah dengan metode kisah dalam al-Qur’an. Dengan metode itu, manusia dapat mengambil pesan moral di dalamnya, tanpa merasa diindoktrinasi. Bahkan pesan-pesan edukatif yang terkandung didalamnya akan lebih mudah dicerna dan menarik. Tujuan pokok penuturan kisah al-Qur’an adalah sebagai pelajaran buat manusia, terkait dengan dua fungsinya, yakni sebagai abd al-Lâh yang harus beribadah kepada Tuhan dan sebagai khalîfah al-Lâh wakil Tuhan yang harus memakmurkan bumi. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis dan pendekatan tafsir tematik, artikel ini menjelaskan tentang berbagai nilai pendidikan dalam kisah al-Qur’an. Dari beberapa sampel kisah dalam al-Qur’an penulis menyimpulkan bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan dalam kisah al-Qur’an yang meliputi nilai pendidikan tauhid, intelektual, moral, seksual, spiritual, dan juga fii ulum al-QuranM Al-QathhthanK BinAl-Qathhthan, M. bin K. 2000. Mabahits fii ulum al-H. Manahil al-IrfanM Al-ZarqaniAl-Zarqani, M. 'Abd al-H. Manahil al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn `AshrihiM Y JazarJazar, M. Y. 1409. Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn ` al-Qishshah fî al-Qur' NaqrahNaqrah, Sikulujiyah al-Qishshah fî al-Qur' ShihabShihab, Q. 2013. Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran.
\n syaikh mutawalli sya rawi
SEBAGIANPERNYATAAN POPULIS SYEKH "SYA'RAWI" Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya'râwi (16 April 1911. - 17 Juni 1998) dikenal sebagai Imam Ad-Du'âti (Pemimpin Para Da'i). Lahir pada 16 April 1911 di desa Daqadus, distrik Mith Ghamr, provinsi Daqahlia, Mesir. Dalam usia 11 tahun ia sudah hafal Al-Qur'an. Ia terdaftar di
Syeikh al-Mutawalli al-Sya'rawi is a prominent muslim Egyptian scholar in his era. He had King Hammad Price as an appreciation on his contribution of ideas and thoughts towards islamic spiritual development and yet he became well known in Muslim world, particular in Arab countries through his tafsir lesson, where eventually been written and complied in volume of books, namely as Tafsir al-Sya'rawi. Besides producing the ideas on aqidah, feqh and tasawwuf, he also included in his words some of the economic thought were could be derived from his books and lectures. This paper aims to explore numbers of his economic thought mobilizing the analysis content methodology from his tafsir, particularly in Surah al-Baqarah. As a result, this study finds that he had shown consistent ideas in supportingshari’ah laws in promoting sadaqahandinfaq, sharingrizq, combatting gambling andriba, strengthening zakat roles and enforcing debt etiquette as mentioned in Al-Quran by giving economic reasons behind the elements said. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam E-ISSN 2443-0056, P-ISSN 2252-5661 Accredited Sinta 2 Number 148/M/KPT/2020 Volume 10 Issue 2, October 2021 Journal Page is available to The Economic Thought of Syeikh al Mutawalli Al-Sya'rawi from His Book of 'Tafsir Al-Sya'rawi' Mohd Shahid Bin Mohd Noh 1* 1 Senior Lecturer, Department of Syariah and Economy, Faculty of Islamic Studies, Universiti Malaya, Malaysia Article history Received April 26, 2021 Revised September 13, 2021 Accepted September 15, 2021 Available online October 1, 2021 Syeikh al-Mutawalli al-Sya'rawi is a prominent muslim Egyptian scholar in his era. He had King Hammad Price as an appreciation on his contribution of ideas and thoughts towards islamic spiritual development and yet he became well known in Muslim world, particular in Arab countries through his tafsir lesson, where eventually been written and complied in volume of books, namely as Tafsir al-Sya'rawi. Besides producing the ideas on aqidah, feqh and tasawwuf, he also included in his words some of the economic thought were could be derived from his books and lectures. This paper aims to explore numbers of his economic thought mobilizing the analysis content methodology from his tafsir, particularly in Surah al-Baqarah. As a result, this study finds that he had shown consistent ideas in supportingshari’ah laws in promoting sadaqahandinfaq, sharingrizq, combatting gambling andriba, strengthening zakat roles and enforcing debt etiquette as mentioned in Al-Quran by giving economic reasons behind the elements said. Keywords al-Sya’rawi, economic thought, tafsir Paper type Conceptual paper Please cite this article [Turabian of style 8th edition] Noh, Mohd Shahid Bin Mohd. " The Economic Thought of Syeikh al Mutawalli Al-Sya'rawi from His Book of 'Tafsir Al-Sya'rawi'" IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam [Online], Volume 10 Number 2 1 October 2021 *Corresponding author e-mail shahid82 IQTISHODUNA with CC BY license. Copyright © 2021, the authors Abstrak Syeikh al-Mutawalli al-Sya'rawi adalah seorang ulama Mesir muslim terkemuka di zamannya. Dia memiliki Raja Hammad Price sebagai apresiasi atas kontribusi pemikiran dan pemikirannya terhadap pengembangan spiritual Islam, namun dia menjadi terkenal di dunia Muslim, khususnya di negara-negara Arab melalui pelajaran tafsirnya, yang pada akhirnya telah ditulis dan dituangkan dalam volume buku, yaitu sebagai Tafsir al-Sya'rawi. Selain menghasilkan pemikiran-pemikiran tentang aqidah, feqh dan tasawuf, ia juga memasukkan dalam kata-katanya beberapa pemikiran ekonomi yang dapat diambil dari buku-buku dan ceramah-ceramahnya. Tulisan ini bertujuan untuk menggali sejumlah pemikiran ekonominya yang memobilisasi metodologi analisis isi dari tafsirnya, khususnya dalam Surat al-Baqarah. Hasilnya, penelitian ini menemukan bahwa ia telah menunjukkan ide-ide yang konsisten dalam mendukung hukum syari'ah dalam mempromosikan sedekah dan infaq, berbagi rizki, memerangi perjudian dan riba, memperkuat peran zakat dan menegakkan etiket utang sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dengan memberikan alasan ekonomi. di belakang elemen kata.] Kata kunci al-sya'rawi, pemikiran ekonomi, tafsir. IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 2 INTRODUCTION Since religions encourages the numbers of moral conducts and good deeds to their followers such as in worship manner, etc, the economic activities are among the main concern because it embedded in human daily life in order for them to survive and achieve their needs. One of the religion’s functions is to flourish the moral sense of its believer by explaining right and wrong thing, those must be done and avoided. One of the undeniable fact that quotes the economic thought among human being had been existed since the early ages of the human history inspired by curious spirit in solving the emerging problem particularly in their social affairs. Nevertheless, this thought could only be found spreadly in the documents and records through the discussion in moral, politics and religionsJ. Barkley Rosser, “Belief Its Role in Economic Thought and Economic Action,” The American Journal of Economics and Sociology 52, no. 3 1993 355–368. Timur Kuran, “The Discontents of Islamic Economic Morality, American Economic Review,” Papers and Proceedings of the Hundred and Eighth Annual Meeting of the American Economic Association, San Francisco 86, no. 2 1996 438–442. Munadi dan Iswanto, “The Concept Maslahah of Najamuddin Al Tufi and It’s Relevance of Sharia Business,” IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam 9, no. 2 2020 151–166. Mashum and Marlina, “Nusantara Syariah Economy Construction of thought was embarked progressively in early 16th centuries. Abdul Sattar also elaborates the special criteria for Islamic economic thought as follow a. The idea of islamic economic comes from the reveals of Al-Quran and hadith and teaching without referring to the sources as from the East of West civilizations. b. Realizes the interests and needs of the public not merely relied on natural human instinct but to obey God’s commands since human’s opinions are not infallible, hence to refer God’s judgment is a must especially in the event of dispute. c. Optimization of the human energy is another criteria in islamic economic that could be comprehended from the various numbers of verses and hadiths. One of the hadith that denounced the act of beggar except in three conditions, a man who tested by God with chronic disease, man who also tested with natural disaster that destroyed his wealth and Economic Cooperation between The Indonesian Muslim Community,” IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam 9, no. 2 2020 197–224. Abdul Sattar, Al-Mabadi’ Al-Asasiyah Li Al-Iqtisod Al-Islamiy Beirut Al-Motanabi Book Shop, 2009. Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 3 man who bears a liability of a group of people and asked for help. d. Islamic economic is not only encompassed on the statistic, numbers, graphs and charts for decision making, but most important thing to be highlighted and reflected is the role of behaviour of akhlaqin administrating the economy for the human well-being. Therefore, religions and good moral conducts always associated with economic thought. LIFE BACKGROUND AND HIS THOUGHT Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi was born on 17thRabi’ al-thani 1329 H / 1911 in the small village named Daqadus, nearby to MayyitGhamr town in Daqhiliyyat province. Raised in the religious family leaded by his pious father who worked as a farmer, but the character shown by him had influenced significantly in shaping Syarifuddin and Kholis, “Towards Rahmatan Lil Alamin Economy Analysis of Ukhuwah Islamiyah and Ashabiah for Economic Development in Medina,” IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam 10, no. 1 2021 59–76. Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Asy-Syaikh Muhammad Al-Mutawalli Asy-Sya’râwî Imâm Al-Ashr Kairo, Mesir Nahdlah, 1990. the noble deeds on al-Sya’rawi’s personality. He had received early Al-Quran education from Syeikh Abdul Majid Pasha who responsible in assisting him completed to memorize the holy book at his age of 11. Then, he had completed his primary and secondary school in Al-Azhar school, Zaqaziq before further his study to the faculty of Arabic language at Al-Azhar University in Cairo in 1937. Life in the middle of politic turmoil that experienced by Egypt from early 20th century under the reign of monarchy royalty that ended with the revolution on 1952 succeeded by Jamal Abdul Nasir, and the environment of study in Al-Azhar that evolved gradually, from traditional learning method to the new modern education system with standardized certification, had contributed in building his thought that lead to the designation of his tafsir. THE METHODOLOGY USED IN TAFSIR AL-SYA’RAWI Istibsyarah, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Asy-Sya’rawi Jakarta Mizan, 2004. Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Asy-Syaikh Muhammad Al-Mutawalli Asy-Sya’râwî Imâm Al-Ashr. Said Abu al-Ainain, Asy-Sya’rawi Alladzi Lâ Na’rifuh Kairo Akhbar al-Youm, 1995. Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir Al-Sya’rawi,” Studia Quranika 1, no. 2 2017 141–154. IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 4 Manhaj al-tafsir or methodological premise in quranic interpretation is a way utilized bymufassir in producing the understanding regarding to particular verse and chapter. According to Hikmatiar Pasya, al-Sya’rawi used two main methods in his tafsir, tafsir bi al-ra’y opinion interpretation and munasabahbain al-ayat reconstruction of the verses. Tafsir bi al-ra’y utilized by al-Sha’rawi is a normal methods used by manymufassirin in order to clarify the meaning behind the words or al-Quran verses by referring to uniqueness of Arabic language. Then, he described using his own words in easier way to understand and elaborated suited to the level of public understanding. Second method is by linking the interpretation or explanation of one verses to another verses and hadith that related in meaning or topic discussed for the purpose of brighter understanding. For instance, when he interpreting the first verse of al-Fatihah, he referred to another verse in al-Alaq, which means “Recite in the name of your Lord who created”, and also verse in Yunos Say, "If Allah had willed, I would not have recited it to you, nor would He have made it known to you, for I had remained among you a lifetime before it. Then will Al-Quran, Al-Alaq, 961. you not reason?". At the end, he conluded that every muslim is no also urged to recite Bismillah only before embarking al-Quran recitation, but they are recommended to say the words in every single action we do as to express our gratitude to the gift of Allah and His uncountable bounties. In brief, the methodology used by al-Sya’rawi are not significantly different from another prominent mufassirinin enlightening the Al-Quran’s meaning reflected to the new issues in economics, politics and scientific discovery. The effort shown had made his book one of the thickest tafsir book written in 20th century. THE ECONOMIC THOUGHT IN SPENDING AL-RIZQ Regarding the topic of infaq fi sabil Allah, initially, al-Sya'rawi liberalized the mean of al-rizq whereas not only restricted on wealth or money in particular, but rizq or the bounties of Allah are anything that could benefit us in any form of contribution, the strength, knowledge, wisdom, etc 1. Everything that contributes to the movement and mobilization of life harakat al-hayat is considered as rizqwhere it could be the reason and factor of wealth and mal generation Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi Cairo Mathobi’ Akhbar al-Yaum, 1997. Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 5 He describes that when Allah created this world as a test place for us, Allah had created before that the support system of this life, all the creation which should serve human being as vicegerent of Allah and also the values existed in human being in nature that will guide them to utilize the bounties given in appropriate and objectively to fulfil their needs. From this statement it clearly stated that the scarcity claimed by western economist is totally wrong. But, vice versa, it was created in abundant and Allah may judge us on how we manage and channel the bounties as a guardianship, where it provides the clear platform for human being to be tested. In another perspective, al-Sya’rawi also denounced gambling practice which he named as the easy rizq’ where the profit comes from movements of others. So, it was prohibited due to the nature of the income that spoils the philosophy of income and gain that should be accompanied with effort and struggle. THE ECONOMIC THOUGHT IN ZAKAT Al-Sya’rawi. pp. 188-189. Muhammad Hifdil Islam, “Ibnu Taimiyah and His Concept of Economy,” Iqtishoduna Jurnal Ekonomi Islam 5, no. 1 2016 15–33. Al-Sya’rawi. pp. 222 Therefore, Islam encourages money or wealth mobilization by imposing zakat to any potentially growth wealth where it simultaneously urges the wealth owner to invest and grow their wealth through economic activities. By keeping the money idle, without paying zakat might be cursed by Allah in the hereafter, where in this world it may jeopardize the value of the money itself. Al-Sya'rawi commented in elaborating zakat's roles in muslim society in current economic condition that dominated by non-Muslim control, he said The command of zakat is not merely to sacrifice small portions of our surplus income and wealth which are to be distributed among the recipients, but the message is to fulfil the gaps of deficit's unit in muslim society to the level that meet their neccesities and compulsory expenses in their life until make them free from begging to non-muslim or in particular, Jewish who provides loan in riba or usury. It in bigger scope shows the spirit of ta'awun and takamul cooperation and complemention must be inculcated in muslim society besides aims to achieve the grant given by our prophet PBUH was reported to say There is no decrement in the wealth that used in donation’2. Al-Sya'rawi shows his awareness in building the economic strength in muslim society IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 6 or the richness of the ummah in helping needy peoples not only for the sake of Allah, but in short term advantage, for the noble dignity of Islam as the vicegerent of Allah without relying on the loan that dominated in his era- almost 40 years ago- by conventional banking system organized and controlled by the Jewish merchant in riba-based transactions. THE ECONOMIC THOUGHT IN SPENDING IN ALLAH'S WAYS INFAQ FI SABIL LI ALLAH Al-Sya’rawi commented on the philosophy of giving some money or sadaqah to the recipients by clarifying the reason and wisdom behind that from the verse 254 Surah Al-Baqarah The meaning O you who have believed, spend from that which We have provided for you before there comes a Day in which there is no exchange and no friendship and no intercession. And the disbelievers - they are the wrongdoers. The idea of wealth sharing actually had been addressed by many scholars and economist including Adam Smith, the tendency to voluntary action is born out of man’s awareness of mutual interdependence. Self-interest itself leads one to help other people in time of need. Non-selfish behavior Al-Quran Al-Baqarah. 2 254. is an integral part of human creation. Allah never ask to spend on Allah,but spend out the wealth that have been given by Allah to you, because the wealth comes from human activities that need energy and material to perform the activities. All of these actions resulted from the plan inspired by human intellectual that created by whom creates the creation. Then, when all the human bodies are moving for the sake of producing wealth from activities using material created for it, everything definitely had been created by Allah. On top of that, he describes the varieties of the works and skills owned by different peoples is necessity that might create a needs one to another, or individual to the group and execute the duties of god’s vicegerent is to build and construct this world imarah al-ardh. Therefore, the skills and abilities to produce work are not to be seemed as a rivalry but it is actually considered as a complimentary and pillar to the balance in the human life. The reason behind that is to avoid any individualistic life that may ruin the social relationship between human, but the weakness possessed by every human had al-Sya'rawi. 1418 H. Tafsir al-Sya'rawi. 2 253. Al-Sya’rawi. . p. 1145. Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 7 forced them to rely on another skills and knowledges and let the relationship being connected beyond the boundaries that allows the exchanges of knowledges in producing goodness. He also explains that Allah explains this issue to human being by using two main mechanism, first, social dimension and second, economic dimension, whereby it may assist us to understand that the basic foundations of this existence are depended on that two main dimensions. It could be seen from our mind set that created by Allah where people always keep on thinking and planning in sparing their life in this world by two activities, creating food for economic reason, and marriage as for social reason. In relation with the statement above, every human being must strive for their life not limited and restricted on what they need, provided they must struggle and give the best they can in producing life maintenance, because the existence of unable people, week and old people as the needy group is inevitable in any society. By struggling the best of our effort, it may produce more wealth that could be used in helping the needy group. So, the dimension of society and economy are related each other Ibid. that lead to the balance of human life in society. In elaborating further verses relates to the sadaqah or donation, al-Sya’rawi describes that Allah always connects the word amwal’ means wealth to pronoun of hum’, that brings the meaning their wealth because it was produced by their energy and actions. Sometimes, Allah reminds us that the wealth in your possession is belonged to Allah, for instance in verse 33 Chapter Al-Nur  The meaning Yea, Give them something yourselves out of the means which Allah has given to you. When we understand that in reality, the wealth actually is belonged to Allah and with His blessing, it was entrusted to us, so, if Allah asks us to spend some to the needy and other religious obligations, we must willingly ready to give up some of ours as asked by Allah. However, Allah asks the wealth to be given with the bounty of loan contract’ where every time we spend Allah may reward with more in the future. In brief, more we give, more we will get. For the verse Al-Baqarah 261, he elucidated that the secret lies behind the command to share and IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 8 spend wealth to others is to remind that every human have their limitation of energy, whereby the younger and energetic person who works today may transform to the weak and disabled guy in the future. Hence, by inculcating the culture of infaq fi sabilillah, everybody will fell ease where their needs might always be fulfilled by the assistance of others, and everybody might force themselves to spend some of their wealth with the awareness that the cycle of life might put people in the top for someday and at the bottom for another day, besides than hoping reward from Allah. This idea encourages the positive thinking and perceptions among people in society that comprised of wealthy, needy, rich and poor without any envy and hatred since everybody believes that the wealth the produced and possessed must be distributed to needy people where every one of them is not secured from that. Among the efforts done by welfare state such as Denmark in increasing its level of national happiness is by inequalities reduction in income distribution that allows lower income group also can enjoy the benefits provided by government. For the verse 267 the same chapter when Allah urges muslim to give out the best of their wealth for donation, al-Sya’rawi comments that the wealth given should came Al-Sya’rawi. . p. 1147. from the good sources and conditions. In order to make the message clearer, he describes how dare the man who granted and gifted with the best skill and knowledge from Allah, then given with the high value of wealth from his effort, then he purposely chooses the worst thing to appreciate what Allah had bestowed to him?. From that, he summarizes the messages lie on these consecutive verses as follows 1. Donation may not decrease the wealth instead in might be increased. 2. Donation given must not be nullified by harsh word 3. Best and gentle word better that donation accompanied with harsh word. 4. Donation must not be given for the sake of human but for Allah’s love. The messages above are told by Allah as a cure to the disease that always disturbs muslim in performing donation and other generous activities such as greedy and worrying to an insufficient wealth in future. The main problems that overwhelmed the economic crisis especially sub-prime crisis 2008 that witnessed a major chaos in world economic history that affected more than a million people in America and Europe was believed came from moral hazard Al-Sya’rawi. . p. 1162. Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 9 that associated with greediness of some financial institutions comprised of banking and insurance companies in maximizing their profit even though breaches the ethical in business deals. Fayyad Hasanain support this idea of sharing the bounty of Allah among members in society by describing the special attributes introduced by shari’ahin economic practices is takaful or cooperation. The good performance of the society economy is indicated by the ability to fulfill the necessities of its member, particularly the poor group until there is no family or men abandoned without proper shelter, enough food, good healthcare and education system regardless of their achievement in import, export and other industries. The idea of takaful was also implemented in islamic insurance industry that known as as takaful. Recently, after focusing on CSR corporate social responsibility by corporate industries, the scholars and market players started to conduct varieties of philanthropy projects such as waqf model suggested by Azlizah Azrah, Rose Ruziana and Zurina Shafii and DompehDhuafa by Amelia Fauzia in effort to fill the gap between two major groups in society and Fayyad Abdul Mun’im, “Simat Al-Nizhom Al-Iqtisod Al-Islamiy,” Iefpedia, last modified 2018, simultaneously eliminates hatred and enmity between them. Takaful or cooperation one to another also visualizes the spirit of muslim brotherhood as said by Allah in verse 10 , chapter al-Hujuraat, that means The believers are but brothers, so make settlement between your brothers. And fear Allah that you may receive mercy. Besides, there is also another verse that supports the idea of takaful, Allah saysThe believing men and believing women are allies of one another. They enjoin what is right and forbid what is wrong and establish prayer and give zakahand obey Allah and His Messenger. Ibnu Khaldun also had explained in his book, al-Muqaddimah, about the benefits of mutual cooperation in community that might accelerate economic development and human progress by emphasizing the understanding of the needs contributed by a group always greater that an effort given by an individual’. Sharing the wealth deemed in Islam as benevolent action where lies behind it the economic agenda to avoid the monopoly of the wealth for certain group in society and keep the gap between poor and rich in moderate level conversed to the capitalism that encourages the creation of unlimited individual wealth with no focus in bridging the IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 10 gap, in order to realize the balance in economic distribution. THE ECONOMIC THOUGHT IN RIBA The prohibition of riba is agreed in consensus among the jurists in all madzhab. The reason of its prohibition could be summarized as below Those who consume interest cannot stand [on the Day of Resurrection] except as one stands who is being beaten by Satan into insanity. That is because they say, "Trade is [just] like interest." But Allah has permitted trade and has forbidden interest. So whoever has received an admonition from his Lord and desists may have what is past, and his affair rests with Allah . But whoever returns to [dealing in interest or usury] - those are the companions of the Fire; they will abide eternally therein. Al-Sya’rawi connects the analogy described by the verse for riba consumer as man who could not stand properly resulted from the satan’s bitten, same to this creation as we are witnessing now, the complete creation of universe with the creatures on it complement one to another, rely one to another by differentiating their skills, knowledges, exposures, variety of weathers, productions that would encourage the cooperation, complementation and reliance among human are always being revived and connected under the God’s system. However, riba practice today definitely destructs the balance of the system created by Allah, the destruction makes the world in imbalance situation between the outside and inside realities where the most developed economic countries are also among the highest number of anxiety and depressed people living there. Based on the statistics issued by National Institute of Mental Health NIMN, percent of adults in United States had experienced any anxiety disorder last yearEconomy crisis which hit America and some European countries affected a lot on people’s lifestyle and mental health. Crisis that resulted from the sub-prime mortgage loan that associated with riba practice had brought negative impacts on economic such as inclination of unemployment rate, poverty and social deprivation that might stimulate mental health problems. Accordingly, he clarifies that the instability, imbalances, chaos Al-Sya’rawi. . p. 1188. “No Title,” Wealth Health Organization, Impact of Economic Crisis on Mental Health Conpenhagen Who Office for Europe, 3AD. Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 11 and crisis occurred today -specifically in economic conditions- stimulated by instinct of human being that went deviant from the straight path where the wealth is seemed as a mean to realize life’s needs not as an ultimate objective. However, riba made people accumulating wealth fundamentally for the figure and number whereas at initial it only used as a way to buy necessities and others, but after a mean was perceived as an objective, the system made by Allah might ruin and eroded. From the idea above, al-Sya’rawi surely observed the economic crisis happened at his time and what had Egyptian experienced after the war between Israel in 1973 or known as 10th Ramadhan or 6th October war. Hazem al-Beblawi studies the performance of Egypt’s economy from 1974-2005, finds that Egypt showed poor economic achievement compared to the other East countries that moved better and faster. He also elucidates the constraints and impediments contributed to the problems notwithstanding the effort done in order to boost up the state economic condition. Then, he refers to the words that witnessed the problems of Al-Sya’rawi. . p. 1189. Hazem al-Beblawi, Economic Growth in Egypt Impediments and Constraints Washington The World Bank Publisher, 2008. ribasystem from western philosopher such as Hjalmar Schacht and John Maynard Keynes, where they observed the negative impacts on socioeconomic that allows rich group getting richer while poor family suffered with continuous poverty and difficulty. From the perspective of moral values in society, al-Sya’rawi uses the methodology of Al-Quran in simplifying the understanding with the analogy al-tamthil, in this case he describes how the members of any society that approve and apply ribain their daily life could live in harmony and affection to others while rich group who usually owns the riba banking system charges additional payment as an exchange to the loan given to the poor who needs money assistance. He urges readers to think and imagine how the rich asks something that he does not need, at the same time, the borrower asked to pay what he does not own. Otherwise, poor and needy people may always give their hatred sight to rich men who exploit them as economic deficit unit in society. Undoubtedly, the morality in economic thought and practices had been promoted before the era of prophet Muhammad even, for instance, Aristotle who known as the great Greek philosopher also described the importance of moral Al-Sya’rawi. . p. 1190. Al-Sya’rawi. . p. 1182. IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 12 and behavior in conducting economic practices especially in the subjects of money values and usury when he denounced harshly riba practices in price determination and loan. In this case, al-Sya’rawi correlates the importance of ethical economic practices to be applied in society by balancing the needs of the unit in the economy, whereas the needy group should be comforted by exempting them from any charges due to their difficulties and weaknesses. In long run, peace and stability of society is relied on how far the steadiness and relationship between the main group in it, rich, middle class and poor. THE ECONOMIC THOUGHT IN SPREADING GOODNESS THROUGH WEALTH SHARING There are number of verses when Allah SWT urges muslimto share their excess wealth with others, in particular their relatives and close family members. One of the verses is verse 177, the meaning of Allah’s words is Righteousness is not that you turn your faces toward the east or the west, but [true] righteousness is [in] one who believes in Allah, the Last Day, the angels, the Book, and the prophets and gives wealth, in spite of love for it, to relatives, orphans, the needy, the traveler, those who ask [for help], and for freeing slaves; [and who] establishes prayer and gives zakah; [those who] fulfill their promise when they promise; and [those who] are patient in poverty and hardship and during battle. Those are the ones who have been true, and it is those who are the righteous. Through this verse, al-Sya’rawi viewed his opinion towards the importance of building the relationship through wealth sharing where the bounties whether it was given to the rich or poor came from Allah. Neglecting others in poverty overwhelmed by severe difficulties is a manifestation of inhumanity and lack of consideration. This humanity idea seemed as a reflection on what had been performed by the idea of capitalist and socialist during their golden reign by socialist Russian and capitalist of the western. The introduction of welfare economy in the middle of 19th century with the objectives to spread the wealth sharing between the surplus unit and deficit unit in the society, as shown by Thomas Hill Green who believes that human being is an agent to realize true freedom that was inspired by eternal consciousness by empowering the moral capability Backhouse and Nisizawa, However, Yew Kwang Ng claims that the welfare economics only emphasizes on individual preferences instead of his welfare or happiness that make the theory deemed incomplete. THE ECONOMIC THOUGHT IN DEBT Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 13 The verse 282 in al-Baqarah chapter is the longest verse in this holy book. It describes in general about the rules, laws and ethics when someone dealing with debt from the aspects of recording, witnessing, some impediments and others. According to al-Sha’rawi, the objective of the debt documentation as commanded in the verse, is to protect the right of borrower where the document will always remind his outstanding debt to pay in the future which may motivate him in working harder for the sake of debt payment other than fulfilling his family daily needs. By ignoring or forgetting his debt obligation might bring negative perceptions to the group of borrowers in society where it potentially leads to the denial of borrowing practice for the benefit of deficit unit in economy. Therefore, the trust between lender and borrower could be kept in good and support the nature of poor and rich living together in harmony and preserve the ecosystem of human life in one community. His view in this case is aligned with his idea pertinent to zakat in supporting the variety of human’s destiny in the form of wealthy or not. Both stimulate the spirit of ta’awun cooperation among muslim and living hand to hand under the brotherhood of iman. The consistency of the thought was inspired by the depth Al-Sya’rawi. . p. 1217. understanding on the principles of imanand mukjizat. Islam neither ask to break the gap between deficit and surplus unit in economy ecosystem by denying the individual ownership and make it equally in mandatory as promoted and enforced by socialism nor permits boundless wealth possession as done by capitalist, but Islam put the ownership of the wealth as in between socialist and capitalist. Therefore, in the debt practice, Islam does not command creditors to give up all the debt or give it benevolently, or chargeriba on the debt, but promoting the ethical and transparent debt relationship as mentioned in the verse. THE DISCUSSION 1. According to the view of Al-Ghazali that emphasized on the preservation of five basic goals namely, religion, life, progeny, wealth and intellect by reflecting on their hierarchy as in sequences doruriyat compulsories, hajiyat neccesseties and tahsiniyat embellishment. He also recognized the first level of necessities are food, clothing and shelter as an indicator to fulfil the basic requirements of complete life M. Ibrahim Birnawi, Khosois Wa Muqawwamat Al-Iqtisod Al-Islamiy Medina Majallah al-Jami’ah Islamiyah bi al-Madinah al-Munawwarah, 1981. IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 14 for anyone in society M. Ghazanfar and A. Azim Islahi, 2003. From the discussion above, it is observed that al-Sya’rawi always mention about takaful or cooperation from whom Allah bestowed him with excess wealth, to assist the unlucky group by fulfilling their basic needs derived from the verse 267 Surah al-Baqarah as an evidence of the significance roles contributed by the practice of infãqfîSabîlillah for a member in a community life. 2. The economy of humanity is among the obvious idea of al-Sya’rawi and it could be seemed in his focus on wealth sharing, negatives impacts of ribaand the needs of work to mobilize the human energy and skill. 3. The role of akhlãqor good behaviour in managing the economy is the most significance action to be inculcated and raised in national and international society where the majority of the financial crisis were caused by the human error particularly greediness and irresponsible acts in economic decision making. 4. The idea of harakat al-hayãt could be easily founded in his tafsir that brings the meanings of life ecosystem. When Allah creates human being in varieties of life status, namely, poor and rich, strong and weak, the wisdom behind it is to balance the ecosystem of human life by creating the needs of human to the work in effort to generate income. Works performed by human normally be done in collective manner, where the hierarchy of work leaded by directors followed by managers and workers is applied. This is the normal scene in every field of work that actually reflected to the needs of human being. Consequently, Al-Quran always urges people to share and spend their wealth by giving or creating income generation work in order to balance the ecosystem of life as called by al-Sya’rawiharakat al-hayãt. The bounties and wealth that given to us shall be shared and distributed fairly among human in other to grant the balance in fulfilling human needs and necessities. Therefore, zakat is one of the tools that realizes the objectives, while the debt law in shari’ah also to ensure the wealth sharing process must be executed fairly, by providing the borrower with money and returning back the debt to the lender. This interaction in the society may stimulate the Mohd Shahid bin Mohd Noh The Economic Thought Of Syeikh Al Mutawalli Al-Sya'rawi From His Book Of 'Tafsir Al-Sya'rawi' A Study On Surah Al-Baqarah 15 healthy economic circulation that reflects beyond the physical profit of any unit in the ecosystem, furthermore it may keep the sustainability of economic growth and development of the human civilization. Diagram of Syeikh al-Sya’rawi’s Thought in Economy Diagram 1 Author’s own CONCLUSION The roles of Al-Quran as the last testament is obviously monitored by relating the meanings or interpretations of the Book with the current issues happening today. As the continuous effort shown by previous scholars in writing tafsir across the centuries, al-Sya’rawi beautified the method of tafsir writing by connecting the verses and their meanings with the current problems with the possible suggestions that could be practiced by muslim. The scholastic idea of al-Sya’rawi definitely had revived muslim’s views towards Al-Quran that not restricted only for the worships related matters, but inclusive the bigger scope of discussion to the health economic system and the practices that embedded in it. Undoubtedly, the scholarship of al-Sya’rawi was recognized globally in Islamic thought in general albeit the opinions expressed were not as detail as needed by economist with statistical and numerical based, it is sufficient for the practitioners, regulators as well as any individual to hold his idea as guidance according to the Al-Quran’s teaching and preferences. IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 16 REFERENCE Ali, Muhamad Daud dan Habibah Al-Hiti, Abdul Sattar Ibrahim. 2009. Al-Mabadi’ al-Asasiyah li al-Iqtisod al-Islamiy. Beirut Al-Motanabi Book Shop. Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Asy-Syaikh Muhammad al-Mutawalli asy-Sya’râwî Imâm al-Ashr, Kairo, Mesir Nahdlah, 1990, Amelia Fauzia, 2017, Islamic Philanthropy in Indonesia Modernization, Islamization and Social Justice. Austrian Journal of South-East Asian Studies, 102, 223-236. Azliza Azrah Mohd Zakaria, Rose Ruziana Abd. Samad and Zurina Shafii, 2013, Venture Philanthropy Waqf Model A Conceptual Study, Jurnal Pengurusan, 2013 119 – 125. Hazem al-Beblawi. 2008. Economic Growth in Egypt Impediments and Constraints 1974-2204. Washington The World Bank Publisher. Hikmatiar Pasya, 2017, Studi Metodologi Tafsir al-Sya’rawi, Studia Quranika, Vol. 1, No. 2, Januari 2017, Istibsyarah, Hak-hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir asy-Sya’rawi , JakartaMizan, 2004. Walid Mustafa Syawish, 2011, Al-Siyasah al-Naqdiyah Baina al-Figh al-Islamiy wa al-Wadh' al-Iqtisodiy, Virgina International Institute of Islamic Thought. Hussain Umar, 1994, Tatawwur al-Fikr al-Iqtisodiy Qadiman wa Hadisan wa Mu’asiran, Kaherah Dar al-Fikr al-Arabiy, ms 36-38. Islam, Muhammad Hifdil. 2016. "Ibnu Taimiyah and His Concept of Economy." Iqtishoduna Jurnal Ekonomi Islam 5 1 15-33. Rosser Jr., 1993, Belief Its Role in Economic Thought and Economic Action, The American Journal of Economics and Sociology, Jul.,1993, pp. 355-368. M. Azhar Hussain, 2014. The Robustness of High Danish National Happiness A Temporal Cross-Country Analysis of Population Subgroups. Social Indicators Research, Vol. 118, September 2014, pp. 759-774. al-Fanjari, Al-Islam wa al-Tawazun al-Iqtisodiy Baina al-Afrad wa al-Duwal. Egypt Al-Awqaf Minister Publisher. M. Ibrahim Birnawi, 1981, Khosois wa Muqawwamat al-Iqtisod al-Islamiy, Medina Majallah al-Jami’ah Islamiyah bi al-Madinah al-Munawwarah. P. 213-214. Chapra, 2001, Islamic Economic Thought and The New Global Economy. Islamic Economic Studies, September 2001, Mashum, AM Hafidz, and Marlina. 2020. "Nusantara Syariah Economy Construction of Economic Cooperation between The Indonesian Muslim Community." IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam 9 2 197-224. IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam Volume 10 Issue2, October 2021 16 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, 1997, Tafsir al-Sya’rawi, Cairo Mathobi’ Akhbar al-Yaum. Munadi, and Budi Iswanto. 2020. "The Concept Maslahah of Najamuddin al Tufi and It's Relevance of Sharia Business." IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam 9 2 151-166. Roger E. Backhouse and Tamotsu Nisizawa, 2006, Introduction Reintrepreting The History of Welfare Economics, Retrieved from on August 2018. Said Abu al-Ainain, Asy-Sya’rawi Alladzi Lâ Na’rifuh, Kairo Akhbar al-Youm, 1995, ms. 28-29. Syarifudin, Moh, and Nur Kholis. 2021. "Towards Rahmatan lil Alamin Economy Analysis of Ukhuwah Islamiyah and Ashabiah for Economic Development in Medina." IQTISHODUNA Jurnal Ekonomi Islam 10 1 59-76. Timur Kuran, 1996, The Discontents of Islamic Economic Morality, American Economic Review, Papers and Proceedings of the Hundred and Eighth Annual Meeting of the American Economic Association, San Francisco, CA, January5-7,1996May,1996, Wealth Health Organization, 2011, Impact of Economic Crisis on Mental Health, Conpenhagen Who Office for Europe, Yew Kwang Ng. 2003. From preference to Happiness Towards A More Complete Welfare Economics. Social Choice and Welfare. Journal. 2003 20 307–350. Berlin Springer Verlag. Andi MaryamSumar’in Sumar’inSambas Regency is a district that has the most extensive Muslim population distribution in West Kalimantan. This research took the research setting in Teluk Keramat District, one of the sub-districts in Sambas Regency, considering the distribution of the Muslim population. The percentage level of Muslims and non-Muslims is also the largest in Teluk Keramat District, reaching of the population is Muslim. Teluk Keramat is a sub-district that is considered the "golden triangle" in the economic sector. This research uses an associative explanatory method or correlational study with a quantitative approach. The population in this study were all Muslim communities in the Teluk Keramat District, amounting to 72,470 people. This study found that the halal literacy variable will only have a significant positive effect on the use of halal products if it is through the halal awareness variable. In other words, halal literacy will have a significant positive impact in increasing the use of halal products if halal awareness is well established. But if Halal Literacy cannot increase halal awareness, then halal literacy will not significantly impact the use of halal Syarifudin Nur KholisIslam provides fundamental sources for human development, including ukhuwah Islamiyah, ashabiah and rahmatan lil alamin. These concepts are strategic in developing the economy of the state. The current article aims to analyze the economic development in Medina carried out by the Prophet Muhammad. The authors employed a qualitative method through narrative reviews of the extant literature. The study shows that before the hijrah of the Prophet, Medina was already a multicultural and heterogeneous society with many prolonged conflicts.. The Prophet devised a strategic approach to build the Medina economy and society. Ukhuwah Islamiyah was used to unify differing, often conflicting cultures, beliefs, and ethnicities to form a strong brotherhood. Ashabiah was applied to tighten the glue among society members, creating high social solidarity. Upon the perfection of Medina, the apostolate of rahmatan lil alamin leads to a universal, inclusive, and sustainable economic MunadiBudi IswantoAl-Tufi is one of the maslahah figures. al-Al-Tufi defines maslahah based on two things, in urf and shar'i, while in urf is a factor that leads to goodness and benefits. Like trading that brings profit. While according to shar'i maslahah is a causal factor that leads to the intention of lawmakers in matters of worship, as well as customs. The rationalization effort based on the spirit of shar'i arguments in its dialectical form delivered Al-Tufi's thoughts towards the re-actualization of Islamic law in the field of muamalah which was more applicable and found a significant momentum. Considering the need for renewal of Islamic law based on public benefit is more pronounced in this modern era especially in business, with this Al-Tufi method, Sharia business law will be dynamic and progressive again. Is not the Islamic Sharia down to earth with the aim of achieving human PasyaMuslims are being challenged to be more productive in the face of a fastly developing era. Al-Qur'an which is believed by Muslims to be the standard reference for truth, has been judged by some in current times as irrelevant, old-fashioned, or even out-of-date. Al-Qur'an as Allah's words which has been transformed into human language, brings out universal meanings. The dynamics of a human's life will always affect their perspective in understanding. That is why, the understanding of al-Qur'an will always relate or have some correlation to the development of a human’s life. As stated by Umar ibn Khathab, " I go out from al-Qur'an in order to return to it." It means we must apply a contextual approach and not just textual to substantially understand al-Qur'an. In the middle of this pluralistic society, where nationalism was indoctrinated, asy-Sya'rawi was born. His consistency in explaining al-Qur'an with the Qur'an itself, expresses a realization in his perspective that the most accurate method in explaining the Qur'an is by using the Qur'an itself al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dhan. By using adab ijtima’i and i’jazi methods in interpretating al-Qur'an, it is hoped to be a solution for these issues, so al-Qur'an and Islam will always be as shalih likulli zamân wal al-makân. M. Azhar HussainDenmark’s top position in various rankings of country happiness is well-documented. This study goes beyond the national average comparisons and investigates whether Denmark’s top position is also found when we disaggregate data in line with social categories often used within the social sciences. The central measure is the empirical probability that a given population subgroup in Denmark has significantly higher happiness compared to another country’s similar subgroup in a given year. All five rounds of the European Social Survey are used but only the sixteen countries that were surveyed in each of the five rounds are included in this study. The results show that Denmark’s position at the top of the happiness scale is also robust when we look at population subgroups, but not in the sense that Denmark dominates all countries for all years. Instead, a modified version of robustness is necessary; Denmark very often has significantly higher happiness levels than in other countries, only sometimes has the same happiness levels as in other countries, very rarely is it dominated by other countries, and finally it is never dominated by other countries in all 5 years for a given subpopulation characteristic. This conclusion is quite insensitive to the applied SWB measure and the applied significance level. Yew-Kwang NgWelfare economics is incomplete as it analyzes preference without going on to analyze welfare or happiness which is the ultimate objective. Preference and welfare may differ due to imperfect knowledge, imperfect rationality, and/or a concern for the welfare of others non-affective altruism. Imperfection in knowledge and rationality has a biological basis and the resulting accumulation instinct amplifies with advertising-fostered consumerism to result in a systematic materialistic bias, as supported by recent evidence on happiness and quality of life. Such a bias, in combination with relative-income effects, environmental disruption effects, and over-estimation of the excess burden of taxation, results in the over-spending on private consumption and under-provision of public goods, and may make economic growth welfare-reducing. A cost-benefit analysis aiming even just at preference maximization should offset the excess burden of financing for public projects by the indirect effect through the relative-income effect and by the environmental disruption effect. A cost-benefit analysis aiming at welfare maximization should, in addition, adjust the marginal consumption benefits of public projects upward by a proportion determined by the proportionate excess of marginal utility over marginal welfare of consumption. The environmental disruption effects have also to be similarly adjusted upward. However, the productive contributions of public projects should not be so Philanthropy in Indonesia Modernization, Islamization and Social JusticeAhmad al-Mursi Husein Jauhar, Asy-Syaikh Muhammad al-Mutawalli asy-Sya'râwî Imâm al-'Ashr, Kairo, Mesir Nahdlah, 1990, Amelia Fauzia, 2017, Islamic Philanthropy in Indonesia Modernization, Islamization and Social Justice. Austrian Journal of South-East Asian Studies, 102, Philanthropy Waqf Model A Conceptual StudyAzliza Azrah Mohd Zakaria, Rose Ruziana Abd. Samad and Zurina Shafii, 2013, Venture Philanthropy Waqf Model A Conceptual Study, Jurnal Pengurusan, 2013 119 -125.
SyeikhMuhammad Mutawalli al-Sya'rawi masuk kuliah di fakultas Bahasa Arab pada tahun 1937, beliau tamat pada tahun 1941. Kemudian ia juga menamatkan Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi mempunyai banyak karya, dan yang paling popular adalah TafsĂŽr Asy-Sya'rawi. Adapun karya-karya beliau, antara lain sebagai berikut: a.

PrédicateurMohammad Mutwalli Ash-Sha’raawi en arabe محمد متولي الشعراوي, né le 5 avril 1911 et mort le 17 juin 1998, est un théologien musulman et homme politique égyptien. Il a joui d’une grande popularité en Égypte grâce à ses apparitions télévisuelles régulières dans le cadre d’émissions consacrées à l’islam, et a joué un grand rôle dans la diffusion de l’islam dans son pays et, au-delà dans le monde arabe. Il est l’un des symboles de la culture populaire égyptienne » des années 1970, 80 et 90.

Seketika Syekh Mutawalli Asy-Sya'rawi melempar pandangan ke atas seraya mengatakan: "Abaikan niat baktimu terhadap guru!" Artinya, jangan sampai melakukan tugas ini semata-mata karena gurumu, tapi harus totalitas lillahi ta'ala. Ternyata, Syekh Mutawalli Asy-Sya'rawi mendengar apa yang terbesit di hati Syekh Umar, muridnya itu. Nama lengkap beliau ialah Muhammad Mutawalli al-Sya`râwî. Beliau merupakan seorang tokoh ternama yang lahir di tanah Mesir yang menjadi daerah tempat tinggalnya kebanyakkan para Mujaddid Islam seperti al-Thanthawi dan Jamâl al-Dîn al-Afghâni. Beliau dilahirkan pada 15 April 1911[1] bersamaan 17 Rabiul Akhir 1329 di Daqadus, sebuah perkampungan kecil di kawasan Mayyit al-Ghumar di wilayah al-Daqhiliyyah.[2] Jalur nasab keluarganya bersambung sampai kepada Imam Ali Zainal Abidin, iaitu putera Saidina Hussien. Hal ini dikuatkan lagi menerusi sebuah buku yang bertajuk Ana Min Sulalah Ahl al-Bayt yang menyatakan bahawa beliau merupakan keturunan dari cucu Nabi SAW. Walaupun bapanya seorang petani biasa namun sangat dihormati masyarakat kerana iltizam dan istiqomahnya pada agama serta kecintaannya terhadap ilmu.[3] Perhatian sebentar… — Sejak 2012, kami bersungguh menyediakan bacaan digital secara percuma di laman ini dan akan terus mengadakannya selaras dengan misi kami memandaikan anak bangsa. Namun menyediakan bacaan secara percuma memerlukan perbelanjaan tinggi yang berterusan dan kami sangat mengalu-alukan anda untuk terus menyokong perjuangan kami. Tidak seperti yang lain, The Patriots tidak dimiliki oleh jutawan mahupun politikus, maka kandungan yang dihasilkan sentiasa bebas dari pengaruh politik dan komersial. Ini mendorong kami untuk terus mencari kebenaran tanpa rasa takut supaya nikmat ilmu dapat dikongsi bersama. Kini, kami amat memerlukan sokongan anda walaupun kami faham tidak semua orang mampu untuk membayar kandungan. Tetapi dengan sokongan anda, sedikit sebanyak dapat membantu perbelanjaan kami dalam meluaskan lagi bacaan percuma yang bermanfaat untuk tahun 2023 ini dan seterusnya. Meskipun anda mungkin tidak mampu, kami tetap mengalu-alukan anda sebagai pembaca. Sokong The Patriots dari serendah dan ia hanya mengambil masa seminit sahaja. Jika anda berkemampuan lebih, mohon pertimbangkan untuk menyokong kami dengan jumlah yang disediakan. Terima kasih. Moving forward as one. Pilih jumlah sumbangan yang ingin diberikan di bawah. RM2 / RM5 / RM10 / RM50 — Terima kasih Keluarga mereka dikenali masyarakat setempat sebagai sebuah usrah yang menitikberatkan pendidikan agama serta cinta pada ilmu pengetahuan dan para ulama. Syeikh Mutawalli Syarawi dikurniakan dengan kecerdikan yang luar biasa sejak kecil. Hal ini amat jelas apabila beliau sudah mampu menghafal al-Quran apabila mencapai umur 11 tahun. Syeikh Sya’rawi mendapat pendidikan formal di Madrasah Ibtidâi’yyah lembaga pendidikan dasar al-Azhar, Zaqaziq pada tahun 1926 M ketika berusia 15 tahun. Kecerdasannya bukan sahaja di dalam menghafal al-Quran malahan dalam menghafal sya`ir puisi dan pepatah-pepatah Arab.[4] Memasuki Madrasah Tsanawiyah lembaga pendidikan menengah, bertambahlah minatnya dalam bahasa dan kesusasteraan dan beliau telah mendapatkan tempat istimewa dalam kalangan rakan-rakannya, serta terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi Pengerusi Pertubuhan Adab dan Kesusasteraan di Zaqaziq.[5] Memetik kata-kata Dr al-Jamili yang pernah mengulas tentang keperibadian al-Sharawi semasa kecil, beliau menyatakan “Al-Syarawi adalah merupakan seorang kanak-kanak yang memiliki peribadi tersendiri, sewaktu kecil lagi beliau suka berfikir terhadap apa yang berlaku di sekeliling beliau. Sentiasa kelihatan tenang dan tidak gopoh dalam setiap tingkah lakunya.”[6] Suatu ketika, Mutawalli Syarawi pernah mel4w4n ayahnya yang keras mahu beliau melanjutkan pelajaran ke Universiti al-Azhar tetapi beliau sendiri lebih mahu tinggal di kampung bersama-sama saudaranya. Syeikh Sya’rawi melakukan helah dengan meletakkan syarat kepada ayahnya untuk membelikan kitab-kitab klasik berjilid-jilid agar ayahnya membatalkan hasrat untuk menghantarnya ke Azhar. Namun begitu, ayahnya menyedari helahnya lalu mengeluarkan sejumlah wang yang banyak untuk membeli kesemua kitab yang dipesannya walaupun terpaksa menjual kerbaunya sendiri.[7] Sejak dari itu, beliau tekun menuntut ilmu sehingga mengkhatamkan seluruh kitab yang dibeli oleh ayahnya. Kemudiannya beliau melanjutkan pengajian di peringkat Ijazah Sarjana Muda di Universiti Al-Azhar dalam bidang bahasa Arab sehingga tamat pada tahun 1941 dengan marhalah mumtaz cemerlang, sebelum dianugerahkan Ijazah Doktor Falsafah pada tahun 1943 sekali gus melayakkan beliau untuk menjadi tenaga pengajar pada ketika itu. Kebanyakkan gurunya ialah tokoh-tokoh ulama dan masyaikh Azhar diantaranya ialah Sheikh Nur al-Husin, Sheikh Abd al-Hamid Abd al-Ghaffar Nasif, Sheikh Jad Soleh, Sheikh Muhammad Hassan al-Tudi, Sheikh Sulayman Nawwar, Sheikh Abd al-Halim Qadm, Sheikh Muhammad Abd al-Latif Darraz dan Sheikh Ali Muhammad Mahmud Jawesh. [8] Ketokohan beliau di dalam pengajian Islam khususnya dalam bidang tafsir mendapat perhatian dunia sehingga beliau diberi julukan “dai sejuta umat” serta mempunyai ramai anak murid yang berkaliber seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi, Sheikh Hassan al-Shanawi dan Syeikh Abd. Al-Waris Al-Dasuqi. Manakala menurut Abd al-Muiz Abd al-Jazar, anak murid al-Sharawi sangat ramai, kerana sesiapa sahaja yang pernah mengikuti kelas pengajian beliau sama ada di masjid, menerusi rancangan TV dan radio adalah merupakan anak murid beliau. Ini kerana beliau mengajar di banyak masjid dan di kaca Tv seperti rancangan “nur ala nur”. Maka, ramailah yang mendapat istifadah dan manfaat daripadanya. Syeikh Sya’rawi mendapat anugerah pertamanya iaitu Pingat Penghargaan Terbilang semasa majlis persaraan beliau pada 15 April 1976 sebelum beliau dipilih untuk menjawat jawatan Menteri Waqaf Mesir dan Pentadbiran al-Azhar. Tidak lupa juga beliau pernah mendapat Anugerah Khas kerajaan Mesir pada tahun 1988, dan pada tahun yang sama mendapat anugerah pengiktirafan sebagai tokoh agama terulung sempena sambutan hari Pendakwah Mesir menjadikan beliau seorang tokoh Islam yang “favourite” dalam kalangan masyarakat pelbagai lapisan. Pada tahun 1997 pula beliau mendapat anugerah tokoh pendakwah Dubai kerana khidmatnya yang luar biasa terhadap al-Quran malahan beliau turut mendapat Anugerah Malik Faisal daripada kerajaan Arab Saudi. Ironinya pada tahun 1998, beliau menyandang anugerah Dubai dan Pingat Amir Zaid Ali Nahyan daripada Putera Ali Nahyan sendiri dalam bentuk mata wang. Namun mata wang yang diperolehi beliau telah disedekahkan kepada al-Azhar dan para pelajar di Buh’uth Islamiah Asrama pelajar al-Azhar. “Moment” paling bersejarah adalah apabila beliau mendapat Anugerah Tokoh Islam daripada Presiden Mesir ketika itu iaitu Hosni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dalam majlis peringatan kelahiran al-Azhar yang ke 1000 tahun.[9] Syeikh Syarawi men1ngg4l dunia pada pada hari Rabu 17 Jun 1998 Masihi bersamaan 22 Safar 1419 Hijrah[10] dan Mesir seolah-olah sudah mandvl untuk melahirkan seorang lagi Sya’rawi. Keberanian dan ketegasan beliau dalam mempertahankan yang haq sudah pasti hanya menjadi sebahagian daripada kenangan umat Islam terutamanya rakyat Mesir ketika beliau dengan tegas memberi peringatan kepada Hosni Mubarak. Beliau berkata di hadapan seluruh rakyat Mesir “….wahai Tuan Presiden, aku ingin menyatakan satu perkara kepada engkau kerana mungkin ini merupakan pertemuan terakhir aku dan engkau. Jika nasib kami bergantung kepada engkau, semoga Allah memberi taufiq menunjukkan kamu jalan yang benar. Tetapi jika nasib engkau bergantung kepada kami, semoga Allah memberi kekuatan untuk mu bagi menanggung beban untuk menghadapi kami.”[11] Keberanian seorang Ulama seperti beliau yang berjuang untuk mentarbawikan umat Islam pasti dirindui bahkan seluruh kehidupannya diperuntukkan untuk menasihati dan membimbing umat Islam bahkan sampai di akhir hayatnya. Ketika beliau terlantar di hospital beliau sempat berpesan “…apabila kalian melihat di dunia pertarvngan, berlaku dua pertembungan antara kebenaran dan kebatilan, ketahuilah sesungguhnya pertembungan itu tidak akan kekal selamanya, kerana kebenaran hanya satu dan bahawasanya kebenaran itu pasti akan mengatasi kebatilan…[12] RUJUKAN Zulkifli Mohammad al-Bakri. Syeikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi Mawaqifnya. Nilai Putaka Cahaya Kasturi, 2018. Selamat Amir, Elemen Saintifik dalam Al-Quran Analisis Terhadap Tafsir Al-Sha’rawi Karangan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi. Tesis Doktor Falsafah, Akademi Pengajian Islam,Universiti Malaya, 2016. Imroatus Sholihah, Konsep Kebahagiaan dalam al-Quran Perspektif Tafsir Mutawalli Sya’rawi dan Psikologi Positif. Tesis Sarjana, Studi Ilmu Agama Islam Universiti Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Ahmad Umar Hasyim. Al-Imâm al- Sya’râwi Mufassiran wa Da’iyah. Kaherah Akhbâr al-Yaum, 1998. Tafsir al-Sya‟rawi Khawatir al-Sya’rawi Haula al-Qur’an al-Karim, Petikan daripada Youtube
Adajaminan dari Allah Swt yang perlu kita ketahui, setelah kita mengetahuinya pasti hati kita akan potongan ceramah dari Syeikh Mutawali
Mutawalli asy-Syarawi adalah seorang ulama besar Mesir kontemporer yang terkenal karena ceramah dan tulisannya, serta mantan menteri­ Agama Mesir. Sejak berusia muda asy-Sya’rawi dikenal sebagai orang yang berjiwa revolusioner. Ia adalah pelopor berdirinya Bank Islam Faisal di Mesir pada awal 1987. Mutawalli asy-Syarawi menyelesaikan pendidikan menengah pada Perguruan az-Zaqaziq, kemudian mene­ruskan ke Universitas al-Azhar Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab di Cairo dan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Meskipun lulus dari jurusan­ sastra Arab, ia amat menggandrungi tasawuf. Ketika masih di Universitas al-Azhar, ia pernah mem-impin gerakan protes terhadap rektornya, Syekh Muhammad Ahmad az-Zawahir, karena para alumni yang mengajar di universitas tersebut digaji sangat rendah. Akibat protes itu az-Zawahir dicopot dari jabatannya­ dan digantikan Syekh Mu-hammad Mustafa al-Maraghi. Gaji pengajar pun dinaikkan. Pada awal 1970 ia bermukim di Arab Saudi selama­ beberapa tahun. Ia kembali ke Mesir pada masa pemerintahan­ Anwar Sadat. Selanjutnya­ pada 1976 ia diangkat menjadi menteri agama. Ja­batan ini dipegangnya sampai 1978. Sejak di Arab Saudi, nama asy-Syarawi sudah dikenal melalui cera­ mah dan tulisannya. Mutawalli asy-Syarawi memiliki kemampuan istimewa dalam hal berbicara dan me­nulis. Dalam ceramahnya ia dapat menguraikan dan memecahkan persoalan rumit dan penuh­ rahasia tentang keimanan, ibadah, hadis, hu­kum, akhlak, dan muamalah. Karena itu, ceramah yang di­sampaikannya, baik secara langsung di hadapan­ publik maupun melalui radio dan televisi, senantiasa­ menarik hati pendengarnya yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat,­ kalang­an tradisionalis mau­ pun modernis. Ceramah­nya­ sebagian besar diterbitkan­ dalam bentuk buklet berseri. Mutawalli asy-Syarawi sering di­ undang ke berbagai perguruan­ tinggi di Eropa dan Amerika untuk ber­ ceramah tentang Islam dalam kaitan­ nya dengan kehidupan modern. Ia mempunyai wawasan yang luas ten­ tang kedokteran,­ astronomi, dan bi­ dang eksakta lainnya. Karena ceramahnya yang menarik mengenai masalah perbankan Islam, ia kemudian diangkat sebagai ketua se­ buah panitia konsultatif yang dibentuk­ gubernur Bank Sentral Mesir. Tujuan utama panitia ini adalah menyelesai­­ kan masalah yang terdapat dalam al-Masraf al-Islami ad-Dauli Badan Keuangan­ Negara, menengahi perselisihan­ di antara dewan direkturnya, dan mengawasi ciri-ciri Islam dalam tindakan badan keuangan tersebut. Pengalamannya sebagai konsultan masalah perbankan memberi inspirasi­ kepadanya untuk mendirikan­ sebuah bank Islam di Austria pada 1986. Kemudian pada awal 1987 ia memelopori berdirinya­ Bank Islam Faisal di Mesir Bank Faisal al-Islami fi Misr. Ia termasuk ulama penulis yang produktif. Kemam­puannya mengung­kapkan pikiran dalam bentuk­ tulisan ternyata mengimbangi kemampuan­ retorikanya yang mengagumkan. Ia banyak menulis pada berba­gai majalah dan surat kabar, antara lain Liwa’ al-Islam Bendera Islam, Minbar al-Islam Mimbar Islam, al-Mukhtar Pilihan, al-Itisam Pedoman, dan al-Ahram Piramida. Karyanya dalam bentuk buku juga sangat banyak, yang paling­ digemari­ adalah tafsir Al-Qur’an. Di Indonesia telah banyak bukunya diterbitkan dalam bentuk terjemahan, antara lain Anda Bertanya Islam Menjawab 5 jilid, Bukti-Bukti Ada­nya Allah, Menghadapi Hari Kiamat, Islam di Antara Kapitalisme dan Komunisme, Ilmu Gaib, Jiwa dan Se­ma­ngat Islam, Menjawab Keraguan Musuh-Musuh Islam, Qada dan Qadar, Sihir dan Hasut, Wanita dalam Qur’an, dan Wanita Harapan Tuhan. Pemikiran asy-Syarawi diuraikan dengan jelas dalam bukunya al-Mukhtar min Tafsir Al-Qur’an al-Azim Pilihan dari Tafsir Al-Qur’an. Tentang ibadah, umpamanya, ia menjelaskan bahwa tujuan ibadah dalam Islam adalah takwa. Seseorang yang bertakwa akan selalu mengikuti sifat Tuhan sehingga akan terhindar dari berbagai godaan duniawi­. Allah SWT mewajibkan manusia beribadah­ setelah manu-sia diberi sarana berupa bumi untuk ditempati, akal untuk berpikir, dan sejumlah sarana lainnya. Karena itu, Allah SWT berhak menyuruh manusia­ beribadah, dengan tujuan agar manusia itu sendiri terhin­dar dari segala hal yang me­rugi­kannya di dunia dan di akhirat. Ketika pemerintah Mesir menarik­ pajak dari rakyat untuk ke­pentin­gan pembangunan nasional, sebagian ulama menetapkan bahwa rakyat boleh membayar pajak dari uang zakat. Akan tetapi ia dengan gam­blang menjelaskan­ bahwa sama sekali­ tidak ada hubungan antara pajak dan zakat. Menurutnya,­ pajak adalah kewajiban­ tiap warga negara, sedangkan­ zakat adalah pajak kemanusiaan. Sasaran utama dari pemberian zakat adalah para fakir miskin dan anak yatim. Uang zakat digunakan untuk menanggulangi kemelaratan, kelaparan,­ dan kemiskinan. Kalau sasaran utama ini sudah tercapai dan uang zakat masih berlebih, kelebihan itu boleh dialihkan untuk kepentingan­ lainnya. Meskipun pembangunan dilak-sanakan untuk semua golong­an, kaya atau miskin, dalam prakteknya­ pembangunan itu, misalnya pembangunan jalan raya, jembatan, irigasi, dan perguruan tinggi, lebih banyak dinikmati­ golongan kaya. Karena itu, pajak tidak dapat diambil dari uang zakat dengan dalih untuk kepentingan pemba­ ngunan. Pemerintah­ hendaknya mencari sumber lain selain pajak untuk membiayai pembangunan. Pandangannya dalam bidang teologi sangat dipengaruhi­ paham Asyariyah. Ini dapat dite­lusuri dalam bukunya al-Qadha’ wa al-Qadar Kada dan Kadar. Di sana ia menge­mukakan bahwa manusia­ bukanlah pencipta hakiki dari perbuatannya­ fil, sebab kata fil mengandung pengertian­ pengerahan­ kekuatan untuk melahirkan sesuatu kejadian­ yang sebelumnya tidak ada. Dalam upaya mewu­judkan suatu perbuatan, diperlukan minimal tujuh unsur sebagai syarat, yaitu kekuatan, akal yang merencanakan, pengerahan tenaga, substansi perbuatan itu sendiri, dimensi waktu, dimensi ruang, dan alat. Ternyata­ tak satu pun dari ketujuh unsur tersebut yang merupakan hasil cip­taan manusia. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa­ manusia tidak bebas dalam berbuat; ia hanya dapat memilih antara dua alternatif,­ yaitu berbuat atau tidak berbuat. Tentang perlunya rasul diutus kepada manusia, ia menjelaskan bahwa tujuan pengutusan rasul ada­lah untuk menyampaikan dan menerangkan kepada­ manusia­ jalan ketaatan kepada Allah SWT. Para rasul hanya bertugas menyampaikan ajaran Allah SWT dan mereka tidak berpretensi­ untuk me­ maksa manusia melaksanakan ajaran tersebut. Ka­lau Allah SWT menghendaki, bisa saja Ia memaksa­ manusia untuk beriman kepada-Nya. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki agar manusia datang kepada-Nya dengan pilihan hatinya sen­ diri. Itulah perbedaan antara manusia dan makhluk lainnya. Daftar Pustaka Jansen, Johannes Khotbah Syekh Syarawi Signifikansi­ Politiknya, terj. Jakarta INIS, 1990. Syarawi, Mutawalli. Anda Bertanya Islam Menjawab, terj. Jakarta Gema Insani Press, 1991. –––––––. Menghadapi Hari Kiamat, terj. Jakarta Gema Insani Press, 1993. Musdah Mulia 71views, 3 likes, 0 loves, 0 comments, 1 shares, Facebook Watch Videos from Masjid Jami' Sabilul Huda: Syaikh Mutawalli Al Sya'rawi - Jangan Tangguhkan Sholat Apabila mendengar seruan azan, maka Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi lahir pada tahun 1911 M di Desa Daqadus, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Kehadiran beliau menjadi sosok yang memiliki arti penting bagi masyarakat Mesir secara khusus, hal ini terlihat sejak ia masih kecil yang dibuktikan dengan kepandaiannya, ketekunannya, dan ketangkasannya dalam menghafal berbagai syi’ir arab, hikmah, serta matan milik ulama. Beliau juga telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya pada usia 11 tahun. Melihat kelebihan yang dimiliki Syekh Syahrawi, ayah Syekh Syahrawi yang merupakan petani yang tekun dan taat menaruh harapan besar terhadap anaknya tersebut, hingga Syekh Syahrawi diperintahkan untuk menimba ilmu. Akan tetapi, beliau menolak perintah ayahnya untuk belajar, karena ingin seperti saudara-saudaranya yang hanya fokus bekerja. Syekh Syahrawi menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Fakultas Bahasa dan Satra pada tahun 1937 dan lulus pada tahun 1940. Suatu waktu ketika beliau masih menjadi mahasiswa, beliau meminta kepada ayahnya untuk membelikan semua buku yang beliau inginkan. Padahal, itu merupakan strateginya untuk memancing ayahnya agar kesal dan menyuruhnya untuk berhenti belajar. Meskipun ayahnya mengetahui bahwa buku yang diinginkan anaknya tidak ada kaitannya dengan materi kuliahnya, hal itu sama sekali tidak menggoyahkan hati ayahnya. Ayahnya tetap menuruti permintaan anaknya untuk membeli semua buku yang diinginkannya. Ayahnya pernah berkata kepada Syekh Syahrawi, bahwa semua kitab yang dibelikannya untuk anaknya tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan referensi kuliah anaknya, namun ayahnya membelikan semuanya dengan harapan semoga Allah Swt. memberikan kemudahan dalam menimba ilmu dan membukakan pintu ilmu pengetahuan untuk anaknya. Perkataan tersebut membuat hati nurani beliau tersentak, sehingga setelah kejadian itu beliau menuntut ilmu dengan tekun. Setelah lulus dari kampus beliau mendapat panggilan mengajar di Thanta, Zaqziq dan Iskandaria pada tahun 1943. Alhasil, karena keluasan ilmunya membuat pihak luar negeri tertarik untuk mengundangnya. Pada tahun 1950, Syekh Syahrawi menjadi Dosen Syariah di Universitas Ummul Quro selama lebih kurang sepuluh tahun. Awalnya beliau ragu, karena ditugasi menjadi Dosen Akidah, sementara beliau menekuni bidang bahasa. Namun, akhirnya beliau menunjukkan kepiawaiannya dan mendapat pengakuan dari kampus. Pada tahun 1961 Syekh Syahrawi kembali ke Mesir karena beliau tidak bisa kembali menjajar di Universitas Ummul Quro yang saat itu sedang terjadi pertentangan antara Presiden Gamal Abdunnasir dengan pemerintah Saudi Arabia. Kembalinya beliau ke Mesir menjadikannya dipilih sebagai Wakil Direktur Ma’had Thanta. Beliau menjadi terkenal karena keluasan ilmunya dan kepiawaiannya dalam pergerakkan politik, serta dukungannya yang kuat terhadap kebijakan Mesir yang pada saat itu menentang penuh dominasi Israel di kawasan Timur Tengah dan Palestina. Berkat dukungannya terhadap Pemerintah Mesir, beliau diangkat menjadi Menteri Wakaf dan urusan Al-Azhar pada tahun 1976-1978. Selama menjabat sebagai Menteri Wakaf, beliau telah menginisialisasi lahirnya Bank Islam pertama di Mesir. Pada tahun 1987 beliau terpilih sebagai anggota Arabic Language Complex, yakni sebuah akademi para ahli yang fokus mengembangkan Bahasa Arab di Mesir. Karier keilmuan beliau semakin menanjak, secara rutin beliau menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya disalah satu channel TV Mesir. Selain keahliannya dalam memaparkan setiap ayat, bahasa-bahasa yang beliau gunakan juga menyentuh sanubari pendengarnya. Beliau ialah ulama yang telah khatam menafsirkan 30 Juz Al-Qur’an dalam bentuk audio maupun visual. Kajian Tafsir Syekh Syahrawi sangat mendapat tempat dihati masyarakat sehingga membuatnya semakin populer sebagai ulama tafsir terkemuka di Mesir. Berbagai fatwanya pun menjadi rujukan umat Islam Mesir pada saat itu, diantaranya tentang pengharaman jual beli organ untuk transplantasi. Karya besar yang telah beliau ciptakan dibukukan dengan judul Tafsir Sya’rawi, beliau sendiri sering mengistilahkan tafsir yang beliau sampaikan dengan “Khawatir Imaniyah” artinya ilham yang berasal dari hati seorang mukmin beriman. Atas segala pencapaian yang telah didapatkan, Syekh Syahrawi teringat dengan usaha sang ayah yang selalu memotivasi untuk semangat belajar hingga mengantarkannya menjadi ulama besar. Sehingga, Syekh Syahrawi sering berkata “Aku ingin keburukan untukku, namun Allah Swt. inginkan kebaikan untukku”. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada 17 Juni 1998 di Mesir setelah meninggalkan puluhan karya tulis ilmiah di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Penghargaan yang telah diterimanya semasa hidupnya, diantaranya beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa pada bidang sastra dari Universitas Manshurah dan Universitas Al-Azhar, sebagai anggota komite tetap untuk Konferensi Keajaiban Ilmu Al-Qur’an dan Sunnah Nabawi. Sampai saat ini, prestasinya terus dikenang oleh umat Islam di dunia, hingga beliau dinobatkan sebagai Imam Ad-Duad, yakni Punggawa Para Dai. Syekh Syahrawi dikenal sebagai ulama yang piawai multidisiplin ilmu. Beliau dikenal keahliannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Metode penafsirannya sangat popular dikalangan cendikiawan maupun masyarakat secara luas. Sumber Oleh Syarifah Rufaida Foto SyaikhMutawalli Al-Sya'rawi. Home; Katalog; Detail; Informasi Umum. Kode. 20.01.588. Klasifikasi. 297.382 2 - Salat. Jenis. Buku - Circulation (Dapat Dipinjam) Subjek. Salat . Informasi Lainnya. Abstraksi. Shalat merupakan ibadah paling utama, tiang agama, dan pembeda antara seorang Muslim dan orang kafir. Akan tetapi, shalat sering kali hanya Di dalam kitab ini Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi membahas permasalahan yang saat ini sering menyibukkan kita yaitu “Rezeki”. Beliau mengupas secara tuntas hakikat rezeki dari sudut keimanan sehingga kita dapat melihat betapa Allah melimpahkan kasih sayang kepada seluruh makhluk-Nya dengan kadar tiada terhingga. Proyek ebook gratis ini dipersembahkan oleh, HIZAK EL-MUTARJEEM Translation ServicesIndonesia - ArabArab - Indonesia082148495498 WA onlydaunbersemi Mutawalliasy-Sya'rawi menjelaskan bahwa nasihat ini bertujuan untuk mengingatkan orang yang mungkin lalai dan sebagai bahan pertimbangan bagi setiap manusia. Beliau mengatakan bahwa seorang anak perempuan akan meninggalkan rumah dan keluarganya yang dulu, demi pergi ke rumah dan lingkungan yang serba baru bahkan belum pernah kita kenal.
Berikutini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi, perihal sifat Rasulullah Saw. dalam surat At-Taubah ayat 128.. Pada bulan yang mulia ini, tepatnya sebagai bulan kelahiran Nabi Muhammad, umat Islam perlu menumbuhkan dan meningkatkan kembali kecintaan kepadanya.Juga sangat penting untuk meneladani perilaku terpuji yang ia contohkan.
.
  • kc9w4cil8p.pages.dev/25
  • kc9w4cil8p.pages.dev/153
  • kc9w4cil8p.pages.dev/249
  • kc9w4cil8p.pages.dev/68
  • kc9w4cil8p.pages.dev/755
  • kc9w4cil8p.pages.dev/44
  • kc9w4cil8p.pages.dev/257
  • kc9w4cil8p.pages.dev/897
  • kc9w4cil8p.pages.dev/764
  • kc9w4cil8p.pages.dev/761
  • kc9w4cil8p.pages.dev/908
  • kc9w4cil8p.pages.dev/83
  • kc9w4cil8p.pages.dev/76
  • kc9w4cil8p.pages.dev/323
  • kc9w4cil8p.pages.dev/105
  • syaikh mutawalli sya rawi